Act Now for a Peaceful World: Dari Konstitusi ke Panggung PBB
SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Beberapa hari lalu, saya menyaksikan wajah seorang anak Palestina yang kelaparan di sebuah tayangan berita. Tubuhnya kurus, matanya sayu, namun tatapannya tajam menembus kamera seolah sedang bertanya kepada kita semua: “Di mana perdamaian yang kalian janjikan?”
Adegan itu menghantam nurani saya, tepat di saat dunia memperingati Hari Perdamaian Internasional (21 September) dengan tema tahun ini: “Act Now for a Peaceful World.”
Dunia sedang terjebak dalam pusaran kekerasan yang terus berulang. Perang di Gaza yang berujung pada krisis kemanusiaan, konflik Rusia–Ukraina yang belum juga mereda, ketegangan di Laut Cina Selatan yang mengancam stabilitas Asia Pasifik, hingga tragedi di Sudan, Yaman, dan Myanmar. Semua itu menambah daftar luka dunia, di tengah krisis lain seperti perubahan iklim, pandemi, dan kesenjangan ekonomi global.
Krisis Peradaban Abad Ke-21
Peradaban manusia kian maju dalam sains, teknologi, dan komunikasi. Namun kini, dunia menghadapi paradoks. Di sisi lain, intoleransi, konflik identitas, dan ketidakadilan justru semakin menajam.
Antonio Guterres, Sekjen PBB, menyebut kita sedang hidup di era “multipolar with multiproblems”— dunia multipolar dengan banyak masalah sekaligus. Masing-masing negara besar sibuk mempertahankan pengaruh, sementara solidaritas global terkikis.
Filsuf Emmanuel Levinas pernah mengatakan bahwa setiap manusia memiliki tanggung jawab tak terbatas (infinite responsibility) terhadap wajah “yang lain”. Ketika seorang anak di Gaza mati kelaparan atau warga sipil Ukraina menjadi korban serangan rudal, itu bukan hanya masalah bangsa mereka, melainkan kegagalan kolektif kemanusiaan kita.
Di tengah kompleksitas itu, Institute for Economics and Peace (IEP) merumuskan delapan prasyarat untuk terciptanya situasi damai yang stabil: 1) Pemerintahan yang berfungsi dengan baik, 2) Lingkungan bisnis yang tertata baik, 3) Pembagian sumber daya yang adil, 4) Penerimaan terhadap hak orang lai, 5) Hubungan baik dengan tetangga, 6) Aliran informasi yang bebas, 7) Sumber daya manusia yang berkualitas, 8) Tingkat korupsi yang rendah. (M. Mas’ud Said, Pengantar Studi Konflik, Perdamaian dan Resolusi Konflik (2025) 135 – 139)
Kedelapan postulat ini menjelaskan bahwa perdamaian bukan sekadar “tiada perang”, tetapi sebuah ekosistem keadilan dan tata kelola. Sejalan dengan itu, African Peacebuilding Institute (2023) menambahkan enam langkah praktis merajut perdamaian: 1) Hidup dalam keadilan dan kasih sayang, 2) Mengakhiri budaya perang, 3) Menanamkan damai pada diri sendiri, 4) Membangun penghormatan atas kebudayaan, rekonsiliasi, dan solidaritas, 5) Hidup harmoni dengan alam, 6) Mempromosikan hak asasi manusia (M. Mas’ud Said, Pengantar Studi Konflik, Perdamaian dan Resolusi Konflik (2025) 140-141) .
Kedua kerangka ini saling melengkapi: yang satu struktural, yang lain kultural dan etis. Jika digabungkan, kita mendapatkan peta jalan perdamaian yang menyeluruh: dari sistem politik-ekonomi hingga budaya hidup sehari-hari.
Peran Indonesia: Sejarah dan Tantangan Baru
Sejarah mencatat bahwa Indonesia bukanlah bangsa yang pasif di panggung dunia. Bung Karno dalam pidato bersejarah di Sidang Umum PBB tahun 1960 menegaskan bahwa perdamaian bukanlah hadiah, melainkan perjuangan. Dari sana lahir peran aktif Indonesia dalam Gerakan Non-Blok, Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, hingga pengiriman pasukan perdamaian ke Kongo, Lebanon, dan Sudan.
Kita adalah negara dengan populasi Muslim terbesar, demokrasi terbesar ketiga, sekaligus kekuatan ekonomi menengah yang semakin diperhitungkan. Lebih dari itu, kita punya modal kultural: Pancasila, kearifan lokal musyawarah, serta tradisi pluralisme yang bisa menjadi model resolusi konflik.
Namun di tengah semua modal itu, pertanyaanny adalah apakah Indonesia hari ini masih konsisten mengemban amanat konstitusi untuk melawan penjajahan dan menegakkan perdamaian? Atau justru terjebak dalam diplomasi normatif tanpa keberanian politik?
Editor : Arif Ardliyanto