Krisis Mediasi Politik: Dari Jember, Sidoarjo hingga Muktamar PPP
SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Perseteruan politik yang terjadi di Jember dan Sidoarjo bukan sekadar drama lokal. Di balik kisruh antara bupati dan wakil bupati, ada masalah yang lebih mendasar: gagalnya negara dan partai politik menyediakan mekanisme mediasi yang sehat.
Jika kita menoleh ke tingkat nasional, kericuhan dalam muktamar PPP memberi gambaran yang sama, politik kita sedang kehilangan kanal penyelesaian konflik.
Fenomena ini tidak boleh dibaca hanya sebagai perebutan kursi atau benturan ego pribadi. Akar masalahnya jauh lebih dalam, yakni cacat pada tiga titik krusial: pendelegasian kewenangan yang tidak berjalan, lemahnya mediasi internal partai, dan gagalnya pengawasan administratif. Ketiga hal itu bersama-sama menjebak publik dalam pelayanan yang tersendat dan demokrasi yang melemah.
Desentralisasi memang dirancang untuk mendekatkan pelayanan ke rakyat. Namun kenyataannya, pemencaran kekuasaan tidak otomatis menyelesaikan relasi bupati dan wakil bupati. UU Nomor 23 Tahun 2014 memang mengatur peran wakil kepala daerah, tetapi dalam praktiknya posisi itu sering dibiarkan samar.
Di Jember, wakil bupati sempat enam bulan tidak dilibatkan dalam kebijakan strategis, lalu melaporkan bupatinya ke KPK. Di Sidoarjo, konflik serupa terjadi hingga wakil bupati membawa perkara ke Kementerian Dalam Negeri. Semua ini menandakan bahwa hukum tanpa etika politik hanya akan melahirkan ketegangan.
Sehebat apa pun rumusan undang-undang, jika hubungan antar-elite daerah diwarnai kecurigaan, pecah kongsi tinggal menunggu waktu. Padahal, kepemimpinan daerah seharusnya ditopang oleh kepercayaan, sikap saling menghormati, dan komunikasi yang terbuka—bukan sekadar hitungan pasal.
Editor : Arif Ardliyanto