Kebebasan Bersuara di Dunia Digital: Antara Demokrasi dan Anarki Informasi
SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Media sosial telah merevolusi cara manusia berinteraksi dan menyampaikan pendapat. Platform digital seperti X (Twitter), Instagram, dan TikTok kini berfungsi layaknya ruang publik terbesar di dunia, menawarkan panggung bagi siapa pun untuk bersuara. Melalui media sosial, masyarakat dapat mengkritik kebijakan pemerintah, berbagi ide, mengorganisir gerakan sosial, hingga membuka ruang diskusi untuk isu-isu yang sebelumnya terpinggirkan. Inilah bentuk nyata dari demokratisasi suara di era digital.
Namun, kebebasan berekspresi di dunia maya juga membawa tantangan besar. Penyebaran hoaks, ujaran kebencian, hingga penyalahgunaan informasi kerap menimbulkan konflik sosial dan hukum. Fenomena “jempol gatal” kebiasaan memposting sesuatu tanpa berpikir panjang sering kali menjebak pengguna dalam masalah serius. Di sinilah pentingnya tanggung jawab digital sebagai pengimbang dari kebebasan yang kita nikmati.
Ironisnya, tidak sedikit orang kini justru enggan bersuara karena takut diserang warganet atau dilaporkan ke pihak berwenang. Fenomena ini dikenal sebagai cancel culture, di mana seseorang diboikot karena ucapannya dianggap salah atau menyinggung pihak tertentu. Padahal, perbedaan pendapat adalah bagian alami dari masyarakat demokratis.
Kebebasan berekspresi seharusnya membuka ruang dialog dan pembelajaran dari berbagai perspektif, bukan justru menjadi ajang saling menjatuhkan. Idealnya, media sosial menjadi wadah untuk berdiskusi dengan cara yang santun dan saling menghormati.
Menurut Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945, setiap warga negara berhak menyatakan pendapat secara bebas, termasuk di ruang digital. Namun, keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memberikan batasan agar kebebasan tersebut tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain atau mengganggu ketertiban umum. Kekhawatiran muncul karena pasal-pasal tertentu dinilai berpotensi mengekang suara-suara kritis. Padahal, pembatasan ekspresi seharusnya hanya dilakukan untuk alasan yang mendesak dan proporsional seperti menjaga keamanan nasional atau mencegah hasutan kekerasan.
Selain faktor hukum, budaya digital masyarakat juga menjadi penentu. Banyak pengguna media sosial masih mudah tersulut emosi, cepat menyebarkan informasi tanpa verifikasi, dan kurang menghargai perbedaan pendapat. Padahal, media sosial seharusnya berfungsi sebagai ruang dialog yang sehat, bukan arena pertempuran opini. Masyarakat perlu membiasakan diri untuk menahan diri, berpikir kritis, dan menghormati pandangan yang berbeda. Jika kedewasaan digital dapat tumbuh, maka perbedaan akan menjadi kekuatan, bukan sumber perpecahan.
Meski regulasi dan pengawasan dibutuhkan, kebebasan berekspresi di media sosial tetap harus dijaga sebagai hak fundamental warga negara. Namun, kebebasan ini harus diimbangi dengan tanggung jawab moral tidak menyebarkan hoaks, tidak menebar kebencian, dan tidak mengorbankan reputasi orang lain. Literasi digital menjadi kunci agar masyarakat dapat memilah informasi dan menyalurkan pendapat secara bijak.
Mewujudkan ruang digital yang sehat membutuhkan kesadaran bersama. Setiap pengguna media sosial perlu mengingat pepatah lama seperti “Jarimu adalah harimaumu.” Menggunakan media sosial bukan hanya soal menyuarakan apa yang kita pikirkan, tetapi juga tentang bagaimana kita menyampaikannya dengan etika, empati, dan tanggung jawab. Kebebasan berekspresi adalah anugerah besar dan tugas kita adalah menjaganya agar tetap menjadi alat pencerahan, bukan sumber perpecahan.
Penulis: Isnaini Salsabila Az zahra
Editor : Arif Ardliyanto