Bencana Banjir Sumatera, Ujian Ketahanan Kota di Ujung Tanduk, Apa yang Salah dengan Tata Ruang?
Di saat yang sama, daerah resapan hilang, tata kelola sungai melemah, dan volume air dari hulu tetap besar. Alhasil, ketika cuaca ekstrem datang, bencana menjadi tak terhindarkan.
Peristiwa di Sumatera menjadi pengingat bahwa pemerintah daerah harus berhenti menunda agenda penataan kota. Kita butuh perencanaan yang adaptif, berbasis data, dan relevan dengan realitas iklim hari ini.
Langkah pertama adalah melakukan pemetaan menyeluruh terhadap zona rawan banjir, longsor, serta wilayah yang sensitif terhadap kenaikan suhu ekstrem. Pembaruan peta lidar dan sonar penting untuk memahami pergerakan lahan dan kondisi hidrologi secara akurat.
Informasi geologi, hidrologi, dan iklim harus saling terhubung dalam perencanaan ruang. Tanpa fondasi data yang kuat, kota hanya akan dibangun di atas perkiraan, bukan kebenaran ilmiah.
Keseimbangan ruang terbangun dan ruang terbuka hijau harus menjadi parameter utama. Tanpa itu, kesejahteraan masyarakat akan selalu terancam oleh bencana berulang.
Peran Warga Sama Pentingnya dengan Regulasi
Setiap kebijakan, sebaik apa pun, tidak akan berhasil jika masyarakat tidak terlibat. Ketahanan kota bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga soal budaya dan kebiasaan warganya.
Bagaimana kita membuang sampah, bagaimana kita merawat sungai, bagaimana kita mengelola air hujan—semua itu turut menentukan masa depan kota. Teknologi secanggih apa pun tidak akan berfungsi tanpa partisipasi warga.
Kota yang tangguh lahir dari kolaborasi, bukan hanya perintah regulasi.
Saatnya Pentahelix Bekerja: Pemerintah–Akademisi–Bisnis–Masyarakat–Media
Bencana ini mengingatkan kita untuk berhenti saling menyalahkan. Untuk membangun kota yang benar-benar siap menghadapi perubahan iklim, kita membutuhkan model kolaborasi pentahelix.
Pemerintah mengatur.
Akademisi meneliti.
Praktisi dan bisnis mengaplikasikan.
Masyarakat menjaga.
Media menyuarakan.
Ketika lima aktor ini bekerja dalam satu irama, barulah kita bisa berharap memiliki kota yang benar-benar adaptif dan tangguh.
Banjir di Sumatera adalah luka sekaligus peringatan keras. Jika kita terus menunda penataan kota berbasis perubahan iklim, maka bencana serupa akan selalu berulang.
Jika kita ingin memastikan bahwa kota-kota Indonesia tetap layak huni puluhan tahun ke depan, langkah adaptasi harus dilakukan sekarang. Bukan besok, bukan nanti.
Penulis:
Dr., Ir., Ar., R.A. Retno Hastijanti, MT., IPU., IAI., APEC Eng. Dekan Fakultas Teknik, Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya
Editor : Arif Ardliyanto