75 Anak di Jawa Timur Terinfeksi HIV, DPRD Soroti Lemahnya Pencegahan dari Ibu ke Anak
Indri menilai, Dinas Kesehatan Jawa Timur perlu melampaui pendekatan kuratif dan pelaporan rutin. Edukasi, skrining aktif, serta pendampingan berkelanjutan harus diperkuat, terutama di daerah dengan angka kasus tinggi.
“Wilayah dengan temuan tinggi harus diperlakukan sebagai prioritas khusus. Intervensinya harus jelas, berkelanjutan, dan dievaluasi secara berkala,” katanya.
Kasus HIV pada anak, lanjut Indri, sebagian besar terjadi akibat penularan dari ibu yang tidak menjalani pengobatan atau tidak terdeteksi sejak kehamilan. Hal ini menunjukkan bahwa layanan antenatal care (ANC) dan skrining HIV pada ibu hamil belum sepenuhnya merata dan konsisten.
“Jika ANC berjalan optimal, hampir tidak ada bayi yang lahir dengan HIV. Itu berarti skrining HIV pada ibu hamil harus benar-benar menjadi standar wajib dan diawasi ketat di semua fasilitas kesehatan,” ujarnya.
Selain anak-anak, kelompok remaja usia 15–19 tahun juga masih menjadi perhatian. Meski angka kasus menurun pada 2025, ratusan remaja masih tercatat terinfeksi HIV. Indri menilai pendekatan edukasi yang ada belum sepenuhnya menyentuh realitas kehidupan remaja.
“Edukasi tidak boleh sekadar seremonial. Harus relevan dengan dunia remaja, melibatkan sekolah, keluarga, komunitas, dan memanfaatkan media digital secara serius,” tegasnya.
Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur mendorong Dinkes Jatim untuk memperkuat koordinasi lintas sektor, meningkatkan kualitas pendampingan bagi orang dengan HIV (ODHIV), serta memastikan kesinambungan pengobatan agar tidak terjadi putus obat yang berisiko mempercepat penularan.
“Kami tidak sedang mencari kesalahan. Yang kami dorong adalah perbaikan. Target eliminasi HIV-AIDS pada 2030 hanya bisa tercapai jika perlindungan anak benar-benar menjadi prioritas utama,” pungkas Indri.
Editor : Arif Ardliyanto