Hapus 3 Nol Rupiah: Rakyat Untung atau Malah Buntung?
Waspada "Pembulatan Harga" di Pasar
Risiko kedua lebih nyata lagi, terutama bagi ibu-ibu yang belanja di pasar tradisional. Masalahnya ada pada uang kembalian dan pembulatan harga.
Ambil contoh harga seikat kangkung Rp2.800. Jika tiga nol dipangkas, harganya menjadi Rp2,8. Masalahnya, apakah akan ada uang pecahan 0,2 atau 20 sen? Kemungkinan besar, pedagang akan membulatkannya ke atas menjadi Rp3 karena alasan "tidak ada kembalian".
Kenaikan dari 2,8 ke 3 terlihat sepele. Tapi coba hitung persentasenya, itu kenaikan harga yang lumayan besar. Jika pembulatan ini terjadi pada beras, telur, minyak, dan tarif angkutan, maka biaya hidup rakyat kecil akan merangkak naik secara diam-diam. Siapa yang rugi? Tentu konsumen.
Trauma Masa Lalu dan Kepanikan
Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) punya tugas berat meyakinkan masyarakat bahwa ini bukan sanering (pemotongan nilai uang yang memiskinkan rakyat) seperti yang pernah terjadi di masa lalu.
Trauma sejarah itu masih ada. Jika sosialisasi gagal, masyarakat bisa salah paham. Ketakutan uangnya tidak laku atau nilainya dipotong bisa memicu kepanikan. Orang bisa beramai-ramai menarik uang di bank (rush money) atau menukar Rupiah ke Dolar. Kalau ini terjadi, ekonomi bisa goyang.
Mengubah sistem uang negara butuh biaya triliunan Rupiah. Mulai dari cetak uang baru, tarik uang lama, hingga update sistem mesin ATM dan kasir di seluruh Indonesia.
Pertanyaannya sederhana: Apakah ini prioritas kita sekarang? Di saat harga bahan pokok masih naik turun dan ekonomi rakyat baru mau bangkit, rasanya "mempercantik" Rupiah belum mendesak.
Kita tidak butuh Rupiah yang sekadar angkanya ringkas. Kita butuh Rupiah yang "sakti"—yang nilainya stabil dan bisa dipakai membeli banyak barang. Jangan sampai kita sibuk menggunting nol, tapi lupa menjaga isi dompet rakyat.
Penulis:
DEWI RAHMA SANTOSO, MAHASISWA EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS AIRLANGGA
Editor : Arif Ardliyanto