Ritual Adat di Tengah Proyek IKN, Antara Pengakuan dan Legitimasi
Ketika ritual ini dibawa masuk ke dalam agenda resmi IKN, ada harapan yang tumbuh. Paling tidak, logika teknokratis pembangunan tidak berjalan sendirian. Ada upaya untuk menyapa jiwa dari tanah yang sedang dibongkar itu.
Namun, harapan ini menyimpan bahaya laten.
Dalam politik tata ruang, ritual budaya sering kali bersifat licin. Ia bisa menjadi jembatan pemahaman, tetapi lebih sering dimanfaatkan sebagai alat legitimasi.
Inilah kekhawatiran utamanya: Pelas Benua di IKN berisiko jatuh menjadi kosmetik politik. Dengan memfasilitasi ritual adat, negara seolah telah menunaikan kewajibannya. Ritual digunakan untuk membangun narasi bahwa pembangunan IKN telah direstui oleh alam dan leluhur. Ini adalah strategi komunikasi yang cerdas untuk meredam kritik ekologis dan resistensi sosial.
Masalahnya, simbol tanpa substansi adalah penipuan.
Apa gunanya mantra dipanjatkan dan sesaji dipersembahkan, jika di atas meja perencanaan, suara masyarakat adat tetap diabaikan? Apa artinya memohon keselamatan pada leluhur, jika peta zonasi IKN justru menggusur kebun, ladang, dan situs keramat milik keturunan leluhur tersebut?
Jika pola ini yang terjadi, maka ritual suci itu telah dikerdilkan fungsinya. Ia tidak lagi menjadi kompas moral dalam memperlakukan alam, melainkan sekadar stempel persetujuan mistis bagi buldoser untuk terus meratakan tanah.
Kita patut mengapresiasi langkah pemerintah yang mulai melirik elemen budaya lokal. Namun, penghormatan terhadap masyarakat adat tidak cukup dibayar dengan seremoni satu atau dua jam.
Penghormatan sejati diukur dari kebijakan nyata. Menghormati adat berarti memberikan jaminan perlindungan hak ulayat. Menghormati leluhur berarti melibatkan pewarisnya dalam pengambilan keputusan krusial, mulai dari tata ruang, pengelolaan air, hingga batas wilayah kelola.
Tanpa keterlibatan yang bermakna, ritual adat di tengah mega-proyek hanyalah sebuah ironi. Ia menciptakan kesan inklusif di permukaan, sementara mesin pembangunan tetap bekerja dengan watak yang menyingkirkan.
IKN sering digadang-gadang sebagai wajah masa depan Indonesia. Namun, masa depan yang beradab tidak seharusnya dibangun dengan cara menumbalkan masa lalu.
Pelas Benua seharusnya menjadi pengingat keras bagi para pengambil kebijakan di Jakarta: bahwa ada nilai, ada batas, dan ada manusia yang telah lebih dulu hidup di tanah ini, jauh sebelum undang-undang IKN diketok palu.
Jangan sampai doa-doa leluhur itu hanya bergema sesaat, lalu hilang ditelan deru mesin proyek. Sebab, kota yang dibangun dengan mengabaikan tuan tanah-nya, tidak akan pernah benar-benar menjadi rumah yang menenteramkan.
Penulis
Rafi Putra Firmansyah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Editor : Arif Ardliyanto