Siapa sangka KH Hasyim Asy’ari Muhammad As’ad Syihab tokoh nasional ini merupakan keturunan Majapahit. Ia tercatat masih keturunan Raja Brawijaya dari jalur sanga ibu, sedangkan sanga ayah merupakan keluarga Alu Syaiban yang berasal dari keturunan para dai Arab Muslim.
Dilansir dari Hadlratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’arie: Perintis Kemerdekaan Indonesia (terjemahan KH Ahmad Mustofa Bisri, 1994) menjelaskan, nasab KH Hasyim Asy’ari dari jalur ayahnya berasal dari keluarga Alu Syaiban yang berasal dari keturunan Arab Muslim.
Sementara nu.or.id, menerangkan para dai tersebut datang ke Indonesia pada abad ke-4 hijriah untuk menyebarkan Islam ke Asia Selatan dan mendirikan bangunan pusat agama Islam dan kesultanan-kesultanan Islam yang dikenal dengan kesultanan Alu ‘Adhamah Khan. Mereka ini keturunan Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Baqir.
Dari pihak ibu, KH Hasyim Asy’ari masih keturunan Raja Brawijaya, seorang raja hebat di Pulau Jawa. Nasabnya disebut dalam kandungan kitab-kitab dan karangan-karangan yang tersimpan dalam perpustakaan silsilah nasab di kantor pusat Sa’adah (jamak dari Sayyid) dan Asyraf (jamak dari Syarif).
Perjalanan sejarang mencatat, KH M Hasyim Asy’ari merupakan sosok yang dikenal sebagai pendiri NU dan memiliki kiprah mengagumkan. Dalam sebuah kisah disampaikan bahwa KH M Hasyim Asy’ari atau Hadratussyekh memiliki seorang santri bernama Sulam Syamsun.
Ia adalah ayah dari Munyati Sulam, penyiar di TVRI yang biasanya disuruh qiraah. Sulam Syamsun ini adalah santri yang tergolong bandel. Saking bandelnya, ia sampai memiliki banyak utang.
Dikutip dari laman NU Online, pada suatu ketika usai hari raya, setelah musim liburan, Sulam tidak berani kembali ke pondok. Ia kemudian berkirim surat kepada kiainya, KH M Hasyim Asy’ari yang kurang lebih isinya: Teruntuk Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Ini saya ayahanda Sulam. Mengabarkan, bahwa Sulam tidak bisa kembali ke pondok, karena Sulam telah meninggal dunia. Jika ada salahnya mohon dimaafkan. Jika ada utangnya mohon untuk diikhlasakan.
Mendapat surat seperti itu, Kiai Hasyim menangis (muwun), karena salah satu santrinya meninggal dunia. Kemudian mengumpulkan para santri untuk diajak shalat ghaib (shalat yang dilakukan tatkala seorang muslim meninggal dunia pada tempat yang jauh dan tidak memungkinkan didatangi).
Setelah shalat ghaib, Hadratussyekh mengumumkan: Hadirin sekalian, ini Sulam telah meninggal dunia. Maafkan kesalahannya, ya? Dimaafkan, ya?,” pinta Kiai Hasyim, dalam bahasa Jawa. Semua santri menjawab: “Nggih...” (Iya)
Kemudian yang agak berat, soal utang. “Kalau ada utangnya, diikhlaskan, ya?”
Karena Kiai Hasyim yang berbicara, semua santri menjawab kompak: “nggih...”
“Halal?”
“Halal,” jawab santri, serempak.
Tak dinyana, tiba-tiba kemudian, dari pintu pondok, Sulam berlari mendekat sambil berteriak: “Matur nuwuuun” (terima kasih....!)
Melihat kelakuan santrinya yang “kurang ajar” seperti itu, Kiai Hasyim bukannya marah, malah justru menangis, merangkul Sulam.
“Alhamdulillah, Lam, kamu masih hidup. Aku kira meninggal dunia beneran. Ya sudah, aku sudah terlanjur mengikrarkan: Kamu di sini sudah tidak punya salah dan tidak punya utang. Adapun yang masih belum ikhlas dengan utangmu, karena kamu masih hidup, Lam, dan aku sudah berbicara, aku yang menanggungnya sekarang. Jadi kalau ada yang punya utang di Sulam, atau yang diutangi Sulam, tagihlah aku,” tutur Kiai Hasyim.
Itulah, sekelumit kisah kearifan sosok KH Hasyim Asy’ari. Juga salah satu potret kenyonyolan santri sekaligus keteladanan kiai dalam balutan kultur pesantren. Kekonyolannya jelas, bahwa Sulam mencari akal agar bagaimana utangnya bisa lunas dengan caranya yang seorang ‘santri nakal’.
KH Hasyim Asy’ari Muhammad As’ad Syihab tokoh nasional ini merupakan keturunan Majapahit (ilustrasi boombastis)
Di sisi lain, kita melihat bagaimana sang pendiri NU, yang kini ekspansi kulturalnya diekspor ke berbagai negara itu, tak mudah marah.
Kiai Hasyim memperlakukan santri yang nakal di luar batas kewajaran – dengan mengaku telah meninggal sekalipun – dengan penuh kasih sayang dan cinta.
Membalas kekonyolan dengan harum kebaikan. Ini baru akhlak seorang ulama Kiai Hasyim Asy'ari, belum Baginda Nabi Muhammad SAW yang akhlaknya tak ada tandingannya.
Editor : Arif Ardliyanto