MOJOKERTO, iNews.id - Kerajaan Majapahit memiliki hukum yang sangat menakutkan. Hukum ini sangat dihindari rakyat Majapahit, diantara hukum yang bisa membuat rakyat menderita adalah 'Supata'.
Apa itu Supata? Hukum Majapahit ternyata tidak lepas dari hal yang berbau supranatural. Dalam berbagai bukti peninggalannya, banyak ditemukan korelasi antara kegiatan sehari-hari masyarakat Majapahit dengan hal yang bersifat spiritual ataupun magis. Salah satu yang bisa diuraikan adalah kemunculan 'Supata' sebagai bagian hukuman resmi kerajaan Majapahit. Artinya, hukuman ini dipercaya keabsahan dan kebenarannya oleh segenap masyarakat Majapahit.
Supata adalah kata dalam bahasa Sansekerta yang bisa dipahami sebagai 'kutukan' atau 'makian'. Keberadaan supata dalam kehidupan masyarakat Majapahit dianggap sama seperti putusan pengadilan atau hukum undang-undang.
Bagaimana bisa kutukan raja menjadi hukuman yang efektif di Majapahit? Simak uraian Tim iNews selengkapnya.
Wewenang Atas Hukum Supata
Di zaman Majapahit, supata yang ditakuti dan diyakini adalah apa yang keluar dari titah raja. Hal ini berakar dari cara rakyat Majapahit memandang raja sebagai turunan dewa di bumi.
Sebagai turunan dewa, titah raja dianggap menjadi perkataan suci yang harus dipatuhi. Apabila dilanggar atau dicurangi, yang berniat buruk akan menanggung akibat dari perbuatannya. Itulah yang membuat masyarakat Majapahit memercayai supata. Hukuman yang bersifat supranatural ini dianggap sama pastinya seperti hukuman pancung oleh pengadilan.
Supata Prabu Hayam Wuruk Sangat Mengerikan
Salah satu supata Majapahit yang dapat dibaca dengan cukup jelas adalah kutukan Prabu Hayam Wuruk yang tertulis di dalam Prasasti Biluluk I 1366 M. Prasasti ini ditemukan di Bluluk, Lamongan.
Dikutip dari buku Muhammad Yamin, Tatanegara Majapahit, berikut ini transkripsi dan terjemahan supata Prabu Hayam Wuruk dalam penggalan isi Prasasti Biluluk I.
" .... Makanguni kang adapur ing Majapahit, siwihos kuneng yang hanang rubuhakna wangcaningon kang biluluk, kang tanggulunan, amangguha papa, sanghyang trayodacasaksi amatyanana, dentamatyanana, yan humalintang ring tgal, sahuten dening ula, mandayan mareng alas dmakning mong, manglangkahana mingmang, yan mareng banwagong sahuten dening wahuya, mumul, tuwiran, yang liwat ing hawan gong kasopa wulanguna, yang hudan samberen ing glap, yan haneng umahnya katibanagni tanpa warsa, liputen gsengana de hyang agni wehen bhasmibhuta saha drwyanya, tanpanoliha ring wuntat, tarung ring adgan, tampyal I kiwan uwahi tngenan, tutuh tunduhnya, blah kapalanya, sbit wtengnya, tatas dadanya, wtwaken dalemanya, pangan dagingnya, inum rahnya, ather pepedaken wehi pranantika bwangaken ing akaca, tibaken ing kawah, astu, I caka 1288."
Teremahannya:
".... Terutama sekali oleh para petinggi di Majapahit. Seumpama ada yang berniat menghancurkan atau merugikan keluargaku, keturunanku di Biluluk, di Tanggulunan, maka mereka bakal tertimpa petaka papa. Cara membunuh mereka adalah sebagai berikut: Apabila melewati padang tegalan mereka akan digigit ular berbisa, apabila masuk hutan mereka diterkam macan, apabila melangkahi ranting kayu mereka kamitonggongen, mingmang, apabila masuk sungai mereka diterkam buaya, apabila masuk laut mereka dimakan ikan hiu atau hewan laut ganas, jika kehujanan disambar petir, jika dirumah maka kejatuhan api tanpa musim, mereka diselimuti dan dimakan batara agni dilebur menjadi abu, beserta seluruh harta bendanya tanpa sempat menoleh kebelakang diterjang dari depan, dihantam dari kanan kiri, dihantam punggungnya, dipecah kepalanya, disabit perutnya, dijebol dadanya, dikeluarkan seluruh jerohannya, dipangan dagingnya, diminum darahnya, lalu mereka dicekik sampai mampus lalu dibuang ke angkasa kemudian dijatuhkan ke kawah membara. Semoga demikianlah. Tahun saka 1288/1366 M."
Dari penggalan isi Prasasti Biluluk I tersebut dapat dicermati bunyi kutukan Prabu Hayam Wuruk. Kutukan atau supata tersebut ditujukan pada orang yang berniat buruk terhadap keluarga raja atau rakyat Biluluk secara keseluruhan.
Dengan sederet kutukan yang mengerikan itu, tentunya orang akan merasa ngeri membayangkan hal buruk yang akan menimpa. Apalagi orang yang mengutuk diyakini merupakan titisan dewa.
Hukuman kutukan seperti ini apakah akan mempan jika diterapkan di Indonesia?
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait