Sri Tanjung merayu dan berselingkuh dengan raja. Fitnah Prabu Sulahkromo terhadap Sri Tanjung itu, membuat Patih Sidopekso murka. Dengan penuh amarah Patih Sidopekso menemui Sri Tanjung, dan menyeret istri cantik itu ke tepi sungai, serta mengancam membunuhnya karena telah melanggar kesetiaan cintanya. Di tepian sungai yang keruh dan kotor itu, Sri Tanjung membantah semua tuduhan perselingkuhan itu.
Namun Patih Sidopekso tak dapat menerima penjelasan dari istrinya yang selama ini telah setia dan selalu mendoakannya. Di tengah pertengkaran itu, Sri Tanjung yang telah menjaga cinta dan kesetiaannya kepada Patih Sidopekso, rela dibunuh suaminya sendiri sebagai bukti kejujuran, kesucian dan kesetiannya.
Sri Tanjung menyampaikan permintaan terakhir kepada suaminya, agar jasadnya dibuang ke dalam sungai yang keruh dan kotor itu. Apabila darahnya membuat sungai itu airnya busuk, maka dia telah berbuat serong. Namun, jika darahnya membuat air sungai berbau harum, maka dia tidak bersalah. Patih Sidopekso yang tak dapat lagi menahan emosinya, langsung menikam tubuh Sri Tanjung yang sangat dicintainya dengan keris saktinya.
Jasad Sri Tanjung langsung dimasukkan ke aliran sungai yang kotor dan keruh. Seketika itu juga air sungai berubah menjadi harum dan jernih. Melihat air sungai jernih seperti kaca, dan beraroma harum. Hati Patih Sidopekso luluhlantak. Dia menangis sejadi-jadinya, lalu tubuhnya terhuyung-huyung dan terjatuh ke sungai. "Banyu...wangi...banyu...wangi...banyu...wangi...," jerit Patih Sidopekso.
Jeritan Patih Sidopekso inilah, yang akhirnya di dengar oleh rakyat dan menamai daerah tersebut dengan Banyuwangi. Banyuwangi, memiliki arti air harum sebagai bukti cinta dan kesetiaan Sri Tanjung yang cantik jelita kepada suaminya. Terlepas dari legenda rakyat tersebut, Banyuwangi yang dahulu merupakan tanah Blambangan, merupakan daerah yang keramat dan sulit ditundukkan sejak masa Kerajaan Majapahit, Bali, hingga VOC Belanda.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
