Pada 1995, klien Kuhon membeli sebagian lahan dari DP lalu disertifikatkan dengan cara dipecah dari sertifikat induknya. Pecahan sertifikat induk tersebut kemudian diperpanjang pada tahun 2002 dengan pengubahan kata ‘Pradahkalikendal’ menjadi ‘Lontar’.
“Karena disesuaikan dengan lokasi sebetulnya, yakni di Kelurahan Lontar,” ucapnya. Kemudian MH dkk menggugat kepemilikan lahan SHGB pecahan tersebut ke Pengadilan Negeri Surabaya.
Kuhon menerangkan, penggugat memanfaatkan pencantuman ‘Pradahkalikendal’ sebagai senjata. Mereka mempermasalahkan lokasi klien Kuhon karena di SHGB pecahan tercantum kata ‘Lontar’, bukan ‘Pradahkalikendal’.
“Padahal, penyebutan ‘Pradahkalikendal’ hanya diambil dari sertifikat induk, dan lokasi yang betul adalah di Kelurahan Lontar. Itu sebabnya Kantor Pertanahan kemudian memperbaiki lokasi yang disebutkan di pecahan SHGB,” paparnya.
Celakanya, dalam sidang, majelis hakim hanya memeriksa dokumen dan tidak menelusuri keabsahan dokumen maupun keterangan yang diajukan oleh pihak yang diduga mafia tanah selaku penggugat.
“Entah bagaimana proses peradilannya, yang jelas pihak yang diduga mafia tanah itu tahun 2021 memenangkan kasus perdatanya di Pengadilan Negeri Surabaya,” ujar Kuhon.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait