Lebih lanjut, sejak dikembangkan, Eko-Tren berhasil mendongkrak peningkatan omset usaha pesantren dari Rp1,05 triliun menjadi Rp4,798triliun, serta peningkatan aset yang semula Rp796 miliar menjadi Rp3,92 triliun.
Tak hanya itu, kontribusi kepada pesantren juga meningkat 30-75% dari kebutuhan operasional pondok pesantren.
"Hal ini semakin menegaskan bahwa pesantren berdaya saing dan telah berkontribusi pada perekonomian daerah," tegasnya.
Menurutnya, keberhasilan Eko-Tren tak lepas dari 3 pilar. Pertama, Pesantrenpreneur atau pemberdayaan ekonomi pesantren melalui koperasi pondok pesantren dan badan usaha lainnya sebanyak 550 pondok pesantren.
Kedua, Santripreneur atau pemberdayaan santri menjadi entrepreneur melalui laboratorium kewirausahaan dan vokasional skill sebanyak 112.116 santri. Dan yang terakhir adalah Sosiopreneur atau pemberdayaan usaha alumni pesantren melalui sinergi dan kolaborasi dengan usaha ponpes dan masyarakat sebanyak 604 alumni pesantren.
"Inovasi dalam hal layanan adalah kewajiban, update teknologi adalah keharusan sehingga inovasi ini yang mampu mengisi ruh percepatan layanan birokrasi. Maka saya berpesan untuk para ASN agar terus berinovasi memperbaiki layanan dan program untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Jatim," pungkasnya.
Eko-Tren telah direplikasi oleh 8 kabupaten/kota di Jatim. Antara lain Kota Madiun, Kabupaten Probolinggo, Mojokerto, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Magetan, Kabupaten Jombang, Kabupaten Gresik, dan Kabupaten Blitar.
Selain itu, Eko-Tren juga telah dikembangkan oleh Provinsi Kalimantan Selatan.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait