Mega mencontohkan bagaimana ayahandanya, Bung Karno, berpolitik. “Di tangan Bung Karno, politik bergerak ke bawah. Ingat ke bawah, ke siapa? Ke akar rumput. Rakyat itu akar rumput. Karena ini ada rumputnya ditutupi (menunjuk lapangan GBK). Kalau dibuka, dia cepat bertumbuh kembali. Jadi rakyat itu, akar rumput itu, tidak bisa dipunahkan,” katanya.
Di tangan Bung Karno dan Mega, politik memang memiliki daya dobrak dan energi untuk terus bergerak demi kemaslahatan rakyat.
“Keberpihakan harus selalu ada pada akar rumput, karena dalam gubuk rakyat miksin, energi perjuangan kepartaian berasal dan Tuhan bersemayam di gubuk rakyat-rakyat miskin,” kata Megawati.
PDI Perjuangan selalu menumpahkan energi politiknya ke akar rumput, dan tak lagi berkutat pada isu-isu politik yang dangkal dan hanya menyentuh kepentingan pribadi atau vested interest.
Misalnya dalam Rapat Kerja Nasional III pada 6 Juni 2023, partai ini mengangkat kembali perintah konstitusi, yaiu fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara negara.
Mega telah melewati begitu banyak fase bersejarah dalam kehidupan politik di Tanah Air. Perjalanan yang meneguhkan keyakinannya bak karang yang tak mempan disapu ombak: bahwa keberpihakan terhadap akar rumput adalah identitas PDI Perjuangan.
Kader PDI Perjuangan tidak boleh malu dan segan untuk mengekspresikan semangat Marhaenisme secara bergotong royong. Solidaritas harus dibangun, karena hanya dengan cara itulah kepedulian sosial terhadap masyarakat kelas bawah tumbuh.
Para kader PDI Perjuangan harus mau turun ke tengah-tengah masyarakat bawah untuk merangkul mereka dan memberikan harapan.
Dengan turun ke bawah, mereka bisa mengetahui kondisi sesungguhnya, sebagaimana dulu dilakukan Bung Karno di Bandung saat bertemu petani bernama Marhaen.
Perhatian terhadap fakir miskin dan anak telantar adalah praksis ideologi Pancasila yang harus dijalankan secara utuh. “Mari kita bergerak bersama, denga gotong-royong menyisir ke kampung, kolong jembatan, mencari anak-anak tak berpunya yang jadi yatim piatu,” kata Megawati.
“Siaapp?” tanya Mega kepada lautan manusia yang memerahkan GBK, stadion bersejarah yang dibangun oleh Bung Karno.
Lautan manusia itu pun menjawab dengan suara yang menggema di GBK, “Siaappp!”
Siapa pun yang hadir di GBK siang itu pasti merasakan getar jiwa yang mendalam. Yang memekikkan “siap” bukan cuma mulut. Yang menggaungkan “siap” bukan hanya bibir. Tetapi jiwa yang penuh-seluruh.
Kini, sepulang dari GBK, kita merasa bukan serak tenggorokan yang tersisa karena ekspresi yang luar biasa; tapi kenangan mendalam pada konsolidasi raksasa. Juga semangat yang berlipat ganda untuk segera bekerja: kembali ke basis, kembali ke akar rumput.
Dari gelombang manusia yang kembali pulang ke tempat masing-masing dari GBK, ke Aceh hingga Papua, di tiap-tiap benaknya akan selalu terngiang “Dedication of Life” Bung Karno yang dibacakan Ganjar Pranowo siang itu.
“Saya adalah manusia biasa. Saya dus tidak sempurna. Sebagai manusia biasa, saya tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Hanya kebahagiaanku adalah mengabdi kepada Tuhan, kepada Tanah Air, kepada bangsa. Itulah dedication of life-ku.”
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait