Makna Maulid Bagi Masyarakat Pulau Bawean

Arif Ardliyanto
Perayaan Maulid Nabi yang dilakukan warga Pulau Bawean. Foto iNewsSurabaya/ist

Sampai saat ini masih ada, bahkan banyak para orang kaya dermawan merayakan peringatan Maulid Nabi Muhammad, SAW. secara mandiri dengan "ngaka'E" warganya dengan "bherkat" Maulid yang nilai isi suguhannya benar-benar sedekah besar.

Kini, sedikit berbeda tentang masalah "angka'an bherkat" Maulid yakni dengan prinsip dari warga, oleh warga, dan untuk warga itu sendiri. Maka dari itulah tiadalah patut mengeluh saat sama-sama mengangkat yang relatif besar secara nominal pembiayaan karena pada akhirnya kembali ke warga juga dengan dasar disepakati bersama jauh sebelumnya mengenai pakem yang sudah ditularkan secara turun-temurun itu. 

Jika hal demikian masih bisa dipertahankan oleh anak cucu hingga akhir zaman, warga dimaksud akan berkarakter tanpa harus tercerabut dari budaya atau tradisinya sendiri. Sekilas patut ditiru kekuatan warga keraton di Jogjakarta dengan peringatan Maulid Nabi bertajuk "Sekaten" atau syahadatain dengan bherkat atau angka'annya tetap apem penuh keberkahan dalam acara "ngalap berkah" yang pernah apem buatan Nabi Nuh As tersebut dijadikan dalam bagis siapa saja yang mampu menemukan empat papan untuk menyelesaikan pembuatan perahu penyelamat umat manusia dari kepunahan dari muka bumi.

Rupanya, warga Dusun Duku juga memiliki jiwa konservasi dalam mempertahan tradisi yang dianggap memiliki nilai-nilai kebaikan. Tiga maskot paling menonjol terlihat kentaranya berupa kuliner rangghinang, telur, dan tongghul. Beberapa kiai menuturkan bahwa hakikat makna dari pemasangan rangghinang memiliki makna yang mendalam. 

Secara etimologi, nama rangghinang berasal dari serapan Bahasa Arab yakni dari kata "ro'i" yang berarti ngurus sopo uwong atau mengurus siapa orang dan "addinun" yang berarti "agama". Jadi, warga yang mau bermaulid tak ubahnya mengurus agama dalam bingkai kekompakan dan persatuan. 

Hal ini terlihat dari bahan rangghinang itu sendiri berupa beras ketan yang sifatnya merekat antara butir satu dengan butir lainnya. Demikian pula dengan umat Islam harus tetap kompak bersatu walau beda aliran atau madzhab sekalipun. Jangan ada bahasa rangghinang dianggap mubadzir karena tak dimakan lagi sehingga ditinggalkan begitu saja. 

Editor : Arif Ardliyanto

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network