Lebih lanjut, Sungging membeberkan, limbah padatan nikel mengandung beberapa senyawa nonkarbonat seperti magnesium, kalsium, dan besi. Ketiga senyawa tersebut akan bereaksi dengan CO2 dan membentuk senyawa karbonat berkestabilan tinggi.
“Nantinya, gas karbon dioksida (CO2) tersebut akan tetap terikat dalam mineral untuk waktu yang lama,” terang alumnus program doktoral dari Tohoku University, Jepang ini.
Dengan mengombinasikan proses reduksi langsung dan pemanfaatan limbah padatan nikel, maka pengolahan bijih nikel yang efisien energi dan ramah lingkungan tak lagi menjadi angan semata.
Langkah ini telah Sungging buktikan secara teoritis layak untuk diterapkan dan dikembangkan. Akan tetapi, inovasi ini tidak akan bisa terealisasi secara massal apabila tidak disertai dengan pemanfaatan teknologi pengolahan mineral yang baik.
Lelaki yang kini berusia 55 tahun tersebut menggarisbawahi bahwa langkah-langkah penyuluhan untuk mencapai penguasaan teknologi harus segera dilakukan. Hal ini dilatarbelakangi oleh sumber daya mineral logam yang tidak dapat diperbaharui.
“Pemerintah harus segera bergerak untuk menciptakan kebijakan yang dapat membantu pemahaman masyarakat mengenai teknologi,” tegasnya.
Anggota Senat Akademik ITS ini menekankan bahwa industri dan akademisi memegang peran yang sangat penting dalam membantu penguasaan teknologi.
Ia menyarankan, pemerintah perlu meningkatkan kompetensi akademisi juga keterlibatan mereka dalam proses pengolahan bijih mineral.
“Keterlibatan ini bermuara pada kemampuan praktis akademisi yang dapat diwariskan kepada para penerus bangsa,” tuturnya.
Dengan begitu, berbagai langkah peningkatan teknologi mineral lain seperti pembangunan pusat riset mineral dan penguatan regulasi atas peningkatan sarana dan prasarana fasilitas riset dapat mengikuti.
“Saya berharap inovasi ini dapat memberi kebermanfaatan baik bagi bangsa maupun sumber daya alam yang ada secara berkelanjutan,” pungkasnya.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait