Topik ini menarik perhatian Riris karena masih belum banyak yang mengkaji dari sisi hukum. Dalam kasus rapid test bekas, lanjutnya, terdapat permasalahan-permasalahan yang belum terjawab dan terlebih lagi belum banyak penelitian yang membahas kasus tersebut.
Dia mengatakan bahwa kasus tersebut sangat miris mengingat pelaku merupakan tenaga medis dengan jabatan Bussiness Manager.
“Dari kasus ini tidak menutup kemungkinan dapat menurunkan kepercayaan publik dalam menggunakan rapid test antigen,” kata Riris.
Sulung dari tiga bersaudara ini menyebutkan bahwa tindakan para oknum pendaur ulang alat rapid test dinilai telah memenuhi unsur melawan hukum dan melanggar beberapa ketentuan hukum, sehingga dapat dipidanakan.
“Kasus ini dikaji melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jika diberlakukan penambahan sanksi. Semuanya sudah sangat efektif,” sebut Riris.
Lebih lanjut Riris memaparkan,tindakan oknum petugas medis pelayanan kesehatan pada perusahaan milik negara di Bandara Kualanamu yang sengaja mendaurulang alat rapid test bekas dapat dikenakan pidana penjara maksimal lima tahun atau pidana denda maksimal dua Miliar.
“Pertanggungjawaban pidana para pelaku pendaurulang serta pelayanan kesehatan pada perusahaan milik negara akan dikenakan sanksi pidana denda dengan diperberat menambah sepertiga dari ancaman maksimal denda,” ungkapnya.
Dari hasil penelitiannya, Riris berharap adanya kolaborasi dalam pelayanan kesehatan. “Masyarakat perlu edukasi terkait pengadaan rapid test. Pemerintah harus melakukan peninjauan ulang yang merata terhadap fasilitas kesehatan dan Kimia Farma memperkuat pengawasan mutu,” jelasnya.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait