Saat itu situasi perlawanan arek-arek Surabaya tengah memuncak. Perlawanan dipimpin Dr Moestopo. Seorang doktor yang juga dokter gigi kelahiran Ngadiluwih, Kediri bekas komandan PETA Sidoarjo. Di siaran RRI, Bung Tomo terus berorasi. Semangat tempur para pejuang dan rakyat, terus dibakar.
Tak ada kata menyerah. Slogan Merdeka atau Mati terus digelorakan di mana-mana. Daripada dijajah lagi, lebih baik mati. Dalam sebuah insiden di dekat Jembatan Merah, Brigadir Jendral AWS Mallaby Komandan Brigade 49 Divisi India Ke- XXIII, tewas. Inggris marah.
Dari atas pesawat selebaran berisi ultimatum untuk menyerah, disebar. Inggris mengancam akan meluluhlantakkan Surabaya. Arek-arek Surabaya marah. Kusni Kasdut marah. Semua marah. "Arek-arek Surabaya telah mencium bau mesiu. Kita tidak bisa digertak. Rapatkan barisan saudara-saudara, Inggris kita linggis! Inggris kita linggis! Saudara-saudara dengar?, Inggris kita linggis!".
Suara Bung Tomo tidak berhenti membakar semangat. Tanggal 10 November 1945. Tepat pukul 06.00 Wib, pertempuran dahsyat yang kelak setiap tahun dikenang sebagai Hari Pahlawan, meletus. Semua melawan. Termasuk pasukan Kusni Kasdut yang sejak tiba di Surabaya menempati bekas gedung sekolah wilayah Sawahan, sebagai kubu pertahanan.
Saling serang, saling tembak, saling melempar granat, tidak terelakkan. Perang yang tidak seimbang itu berlangsung sekitar tiga minggu. Inggris menghujani bom dari pesawat. Di buku "Kusni Kasdut", Parakitri menulis pada akhir Minggu pertama, Sawahan terkepung. "Kusni dan brigade Malang serta arek-arek Surabaya bertahan di dalam gedung sekolah".
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait