Revisi UU Pilkada oleh DPR RI Versus Putusan MK

Arif Ardliyanto
Dr Hufron, SH.,MH., Pakar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Foto iNewsSurabaya/dok

Terkait Soal Perubahan Undang-Undang Pilkada yang telah dibahas oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR RI yang kemudian hendak diparipurnakan hari ini, urung karena tidak memenuhi syarat quarom rapat paripurna.  

Perlu dipahami bahwa secara yuridis konstitusional  putusan MK berdasarkan Pasal 24C UUD 1945 memiliki kekuatan final dan mengikat, yang  itu artinya berlaku sejak dibacakan, mengikat lembaga-lembaga negara, termasuk DPR dan seluruh rakyat Indonesia. 

Bahwa terkait  putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 di mana dengan batas usia calon kepala daerah di mana dihitung sejak penetapan pasangan calon kepala daerah, sedangkan berdasarkan Putusan MA No. 23.P/HUM/2024 dihitung sejak saat pelantikan.  

Apakah dalam Perubahan UU Pilkada Baleg DPR RI akan mengikuti amar putusan MK atau MA? Hal tersebut bukan pilihan yang bersifat alternatif. 
Karena menurut pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), salah satu materi muatan undang-undang  adalah Tindak lanjut dari putusan MK. 

Oleh karena itu benar DPR  memiliki kewenangan untuk membentuk undang-undang. Akan tetapi  bilamana hendak melakukan perubahan UU Pilkada oleh DPR RI terikat oleh putusan Mahkamah Konstitusi. Jika ternyata DPR kemudian tidak mengindahkan terhadap putusan MK, Maka  menurut pendapat saya,  DPR telah secara “kasat mata dan telanjang” menabrak konstitusi atau melakukan pembangkangan konstitusional /constitutional disobedience.

Selanjutnya, bilamana proses legislasi dalam rangka perubahan RUU Pilkada dipaksakan oleh DPR dan Presiden  untuk disetujui bersama, hal tersebut akan berpotensi melahirkan krisis konstitusi (constitutional crisis) yang tidak berujung dan berkepastian hukum. 

Misal, betul bahwa RUU Pilkada  dibahas dan disetujui bersama DPR dan Presiden, setelah itu disahkan Presiden sebagai UU Pilkada. UU Pilkada tersebut ada potensi untuk dilakukan Judicial Review (JR) ke MK oleh masyarakat yang merasa proses legislasinya tidak benar dan tidak melalui proses partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).  

Dan terdapat kemungkinan besar MK akan membatalkan UU Pilkada tersebut. Setelah UU Pilkada tersebut dibatalkan oleh MK,  oleh parlemen akan dilakukan perubahan lagi, begitu seterusnya, maka menurut saya tidak jelas pangkal dan ujungnya, sementara proses dan pentahapan pilkada serentak 2024 harus tetap jalan. 

Editor : Arif Ardliyanto

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network