Penundaan yang dilakukan sepihak oleh Dirjen Darat Kemenhub tanpa melibatkan stakeholder ini dinilai bertentangan dengan Peraturan Menteri (PM) 66 Tahun 2019 tentang Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan Penyeberangan.
"Penundaan tanpa batas waktu ini melanggar PM 66 tahun 2019. Penetapan dan penundaan tarif seharusnya melalui mekanisme yang jelas dan tertuang dalam peraturan menteri baru," tegas Rachmatika.
Ia menyebut bahwa kenaikan 5% itu pun sebenarnya sangat kecil dampaknya bagi konsumen. Sebagai contoh, untuk lintas Ketapang-Gilimanuk, kenaikan tarif penumpang hanya Rp 500, dan untuk kendaraan barang Rp 23.000.
"Jika dibagi tonase, kenaikan harga barang sangat minimal, bahkan kurang dari 1%," ungkapnya.
Rachmatika menjelaskan bahwa angkutan penyeberangan melayani mayoritas masyarakat kelas bawah, jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan pengguna angkutan udara.
Oleh karena itu, ia berharap pemerintah segera memperhatikan sektor ini untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan transportasi masyarakat luas.
"Kami meminta pemerintah memberikan insentif dan segera memberlakukan kenaikan tarif yang telah ditunda setelah masa angkutan Lebaran selesai," tutup Rachmatika.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait