Ia menekankan pentingnya standarisasi nasional dalam produksi beras fortifikasi agar bisa digunakan secara luas dan berkelanjutan. Mengingat konsumsi beras yang tinggi di Indonesia, fortifikasi beras dinilai sebagai langkah paling masuk akal untuk mengatasi masalah gizi kronis.
“Fortifikasi beras adalah solusi paling strategis untuk saat ini. Namun, keberhasilannya butuh regulasi yang jelas dan dukungan lintas sektor,” tegasnya.
Sementara itu, Prof. Dr. Sri Sumarni, S.KM., M.Si, menegaskan bahwa stunting tidak hanya disebabkan oleh kekurangan gizi, tapi juga infeksi, ekonomi lemah, dan kurangnya edukasi. Oleh karena itu, penanganannya harus terintegrasi dengan program pemberdayaan perempuan, penguatan produksi pangan, serta layanan kesehatan dan program keluarga berencana (KB).
“Implementasi beras fortifikasi sangat memerlukan dukungan dari berbagai pihak, terutama regulasi dari pemerintah agar industri bisa memproduksi dan mendistribusikannya secara legal dan aman,” jelas Prof. Sri.
Sebagai informasi, beras fortifikasi merupakan beras yang dicampur dengan 1 persen kernel khusus yang mengandung berbagai mikronutrien penting. Kandungan tersebut dirancang untuk: Mencegah anemia, Mendukung pertumbuhan anak, dan menjaga kesehatan ibu hamil dan remaja putri.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan World Food Programme (WFP) telah merekomendasikan fortifikasi pangan sebagai metode efisien, terjangkau, dan berdampak luas dalam menanggulangi kekurangan zat gizi mikro penyebab utama stunting dan gangguan kesehatan kronis lainnya.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
