GSNI menyerukan agar proses penulisan ulang sejarah dilakukan secara terbuka dan melibatkan sejarawan independen serta akademisi dari berbagai latar belakang.
Mereka menekankan bahwa sejarah bukan alat kekuasaan, tetapi harus menjadi warisan intelektual yang jujur bagi generasi mendatang.
“Kami mendesak agar pemerintah tidak menjadikan sejarah sebagai alat kontrol narasi. Jika penulisan ulang memang diperlukan, maka tujuannya harus untuk memperkaya perspektif, bukan mengaburkan kebenaran,” tegas Reyki.
Polemik penulisan ulang sejarah ini mencuat bersamaan dengan evaluasi terhadap kurikulum sejarah nasional yang dilakukan sejak 2020. Salah satu isu kontroversial adalah rencana penghapusan sejarah sebagai mata pelajaran wajib di jenjang SMA/SMK, meskipun telah dibantah oleh Kemendikbudristek.
Namun, kekhawatiran publik masih tinggi. Banyak pihak menilai adanya kecenderungan “penyesuaian narasi” dalam kurikulum sejarah nasional. Sejumlah sejarawan dan pengamat pendidikan pun mengingatkan bahaya memutihkan masa lalu demi kepentingan politik.
Di akhir pernyataannya, GSNI Surabaya menyerukan kepada seluruh pelajar dan mahasiswa di Indonesia untuk menjaga ingatan kolektif bangsa terhadap sejarah.
“Jangan biarkan sejarah ditulis ulang demi menyenangkan penguasa. Kita harus berdiri teguh menjaga kebenaran sejarah, baik yang gemilang maupun yang kelam,” tegas Reyki.
Mereka juga mengutip pesan legendaris dari Bung Karno: “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak melupakan sejarahnya.”
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
