Karena tidak mendapat jawaban yang jelas, Djoko pun mengambil langkah administratif dengan melayangkan nota dinas kepada Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah (Sekda) Jember, Jupriono. Surat pertama dikirimkan pada Selasa (22/7), disusul surat peringatan pertama pada Kamis (24/7), dan surat peringatan kedua pada Jumat (25/7). Sayangnya, tidak ada tanggapan memadai.
“Hilangnya mobil dinas ini bukan semata persoalan aset, melainkan menyangkut etika birokrasi dan integritas aparatur negara. Jika benar ada yang mengambil tanpa izin, itu adalah bentuk penyimpangan serius,” tegas Djoko.
Ia menekankan bahwa sikap diam bukan berarti abai. Justru, ia berharap peristiwa ini menjadi momentum refleksi bagi seluruh jajaran birokrasi di Jember.
“Sebagai pimpinan, saya ingin memberi pendidikan, bukan kemarahan. Tapi jangan anggap kesabaran ini sebagai kelemahan,” ucapnya.
Menanggapi polemik tersebut, Pj Sekda Jember, Jupriono, akhirnya memberikan klarifikasi. Ia menyatakan bahwa mobil dinas itu sebenarnya tidak hilang, melainkan dibawa ke bengkel untuk perawatan.
“Mobil sudah lama terparkir dan tidak dipakai, kondisinya juga kotor. Saat kami coba nyalakan, mesin tidak mau hidup. Maka kami ambil inisiatif untuk memperbaikinya,” kata Jupriono.
Ia menambahkan, tindakan tersebut murni bagian dari pemeliharaan aset daerah. Namun sayangnya, proses pengambilan dan perawatan mobil itu tidak melalui prosedur pelaporan resmi kepada pemilik sah, yakni Wabup Djoko Susanto.
Kejadian ini menyoroti pentingnya transparansi dan komunikasi antarlembaga dalam pengelolaan aset negara. Pengambilan kendaraan tanpa pemberitahuan resmi kepada pengguna utamanya, meskipun dengan alasan pemeliharaan, tetap menyalahi prosedur birokrasi.
Kini, masyarakat dan jajaran Pemkab Jember menanti tindak lanjut dari persoalan ini. Apakah cukup diselesaikan secara internal, atau akan menjadi bahan evaluasi menyeluruh terhadap manajemen aset dan etika kerja di lingkungan pemerintah.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
