Ia juga menilai bahwa putusan PTTUN sebelumnya yang sempat menangguhkan PBG tidak objektif. Bahkan, menurutnya, pertimbangan hukum saat itu keliru karena mendasarkan putusan pada UU Ibu Kota Negara (IKN) yang belum sepenuhnya diimplementasikan.
Dalam putusan yang dibatalkan MA, PTTUN sempat merujuk pada Pasal 21 UU No. 3 Tahun 2022 tentang IKN, yang mengatur bahwa perwakilan negara asing akan pindah ke IKN (Kalimantan Timur) secara bertahap. Namun menurut Syaiful, hal itu tidak relevan terhadap kasus pembangunan saat ini.
“Lucu jika pembangunan ini ditunda dengan alasan pemindahan ibu kota, padahal sampai sekarang belum ada satu pun kantor perwakilan asing yang aktif di IKN,” ujarnya tajam.
Syaiful menilai bahwa putusan Mahkamah Agung ini bukan sekadar kemenangan hukum, tapi juga penting untuk menjaga wibawa diplomatik Indonesia di mata dunia.
“Jika Indonesia melanggar Konvensi Wina hanya karena polemik ini, akan jadi preseden buruk bagi diplomasi kita,” ujarnya.
Ia pun mengimbau agar segala bentuk polemik terkait pembangunan Kedubes India dihentikan. “Semua sudah sesuai prosedur dan hukum yang berlaku, tidak ada alasan lagi untuk menunda,” pungkasnya.
Putusan Mahkamah Agung ini menjadi preseden penting bagi perlindungan hukum terhadap misi diplomatik asing di Indonesia. Di tengah transisi menuju Ibu Kota Nusantara (IKN), kepastian hukum tetap menjadi prioritas utama—termasuk dalam urusan hubungan internasional.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
