SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Beberapa tahun terakhir, Surabaya seolah menjelma menjadi kota seribu coffee shop. Di setiap sudut kota, mulai dari pusat keramaian hingga gang-gang kecil, mudah ditemui kedai kopi dengan berbagai konsep. Ada yang mengusung gaya industrial minimalis, suasana homey dengan sentuhan dekorasi rumahan, hingga interior Instagrammable demi memanjakan kamera para pengunjung.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan menarik, apakah nongkrong di coffee shop benar-benar telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat urban, atau sekadar mengikuti tren agar tidak dianggap ketinggalan zaman?
Jika menengok media sosial, geliat budaya ngopi ini semakin terasa. Di Instagram, misalnya, tagar #coffeeshopsurabaya telah dipenuhi ribuan unggahan. Sebagian besar menampilkan foto minuman dengan latte art, suasana interior estetik, atau potret pengunjung berpose di depan kafe favorit.
Sementara di TikTok, konten bertema coffee shop juga ramai beredar, mulai dari rekomendasi “café murah vibes estetik” hingga “hidden gem di Surabaya Barat.” Setiap kali ada kafe baru dibuka, bisa dipastikan dalam beberapa minggu pertama lini masa media sosial akan dipenuhi ulasan dan foto dari netizen. Fenomena ini menunjukkan bahwa nongkrong di coffee shop kini bukan hanya aktivitas nyata, tetapi juga bagian dari eksistensi digital.
Di lapangan, suasana coffee shop di Surabaya nyaris tak pernah sepi, terutama pada malam hari atau akhir pekan. Banyak kafe yang dipenuhi mahasiswa dengan laptop, pekerja lepas yang menjadikannya kantor kedua, hingga kelompok anak muda yang datang sekadar untuk berbincang. Tak sedikit coffee shop bahkan buka 24 jam untuk memenuhi permintaan pasar. Pencarian “café 24 jam Surabaya” di mesin pencari terus meningkat, menandakan kebutuhan masyarakat terhadap ruang nongkrong yang fleksibel dan selalu tersedia.
Namun, di balik hiruk-pikuk itu, sisi tren sosial juga tak bisa diabaikan. Banyak pengunjung datang bukan semata untuk menikmati kopi, melainkan untuk “terlihat hadir.” Nongkrong menjadi ritual sosial baru, di mana kehadiran di kafe yang sedang hits dianggap bagian dari eksistensi pergaulan. Fenomena FOMO (fear of missing out) terasa kuat, jika belum pernah berkunjung ke tempat yang sedang ramai dibicarakan, muncul kekhawatiran dianggap kurang gaul.
Meski begitu, nongkrong di coffee shop bukan tanpa nilai positif. Banyak kafe kini berkembang menjadi ruang produktif. Mahasiswa menjadikannya tempat belajar kelompok karena suasananya lebih nyaman dibanding kamar kos. Pekerja lepas memanfaatkan Wi-Fi dan atmosfer tenang untuk bekerja. Tak jarang pula lahir ide-ide kreatif dari obrolan ringan di meja kopi, mulai dari proyek komunitas, rencana bisnis kecil, hingga inspirasi konten digital. Dengan kata lain, coffee shop telah bertransformasi menjadi ruang alternatif untuk belajar, bekerja, dan berkolaborasi.
Namun, sisi konsumtif tetap membayangi. Harga secangkir kopi di kafe berkisar antara Rp20.000 hingga Rp40.000. Jika dilakukan hampir setiap hari, kebiasaan ini tentu bisa menjadi beban finansial, terutama bagi mahasiswa atau pekerja muda. Maka, pertanyaan pun muncul: apakah nongkrong di coffee shop memang kebutuhan, atau sekadar gaya hidup konsumtif yang terbentuk karena dorongan tren media sosial?
Pada akhirnya, yang membedakan antara gaya hidup dan tren adalah soal makna. Coffee shop bisa menjadi ruang sosial produktif bila dinikmati dengan kesadaran dan tujuan, namun bisa pula menjadi simbol konsumtif bila dijalani hanya demi terlihat “ikut zaman.” Nongkrong di coffee shop, sama seperti secangkir kopi itu sendiri, seharusnya dinikmati dengan sadar, bukan sekadar diminum karena orang lain melakukannya.
Penulis: Zahwa Tri Handini Risma Salsabillah
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
