Implikasinya serius, banyak pengguna merasa bebas memilih informasi, padahal sebenarnya berada dalam ruang yang telah dikurasi mesin. Algoritma secara diam-diam mengajarkan untuk:
- Mempercayai yang sejalan
- Menertawakan yang berbeda
- Memblokir yang tidak disukai
Tanpa disadari, algoritma menjadi guru politik yang tidak pernah dipilih, tidak terlihat, tetapi sangat menentukan apa yang dianggap benar.
Dampak nyata terlihat menjelang Pemilu 2024. Kementerian Komunikasi dan Digital mencatat ribuan konten hoaks beredar di media sosial, ratusan di antaranya terkait kandidat dan isu pemilu. Penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Studi Komunikasi dan Media (2024) oleh Christiany Juditha dan Josep J. Darmawan menunjukkan platform digital tidak hanya mempermudah partisipasi politik, tetapi juga mempercepat polarisasi dan penyebaran propaganda.
Di timeline, lawan politik direduksi menjadi karikatur "cebong" versus "kampret," "kadrun" versus kelompok lain. Ruang untuk diskusi bernuansa hampir tidak ada. Gen Z yang tumbuh dengan pola ini berisiko memandang politik sebagai perang identitas, bukan arena mencari solusi bersama.
Polarisasi digital tidak hanya merusak kualitas demokrasi, tetapi juga kesehatan mental. Doomscrolling, kebiasaan terus-menerus mengonsumsi kabar buruk, membuat banyak anak muda merasa lelah, cemas, dan sinis. Komentar seperti "Semua politisi sama saja" atau "Ngapain ikut urusan negara" mencerminkan apatisme yang justru diuntungkan oleh algoritma yang lebih suka keributan kosong daripada dialog mendalam.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
