Seringkali Society 5.0 dipresentasikan sebagai visi megah yang sudah dekat di pelupuk mata. Padahal, di banyak tempat, internet stabil saja masih mimpi. Di desa, teknologi bukan bicara AI, tapi bicara sinyal yang hilang-timbul dan layanan publik yang berjalan lambat.
Inilah sebabnya banyak orang melihat Society 5.0 hanya sebagai narasi elit: cantik dalam presentasi, tetapi jauh dari realitas masyarakat akar rumput.
Kadang rasanya konsep ini lebih mirip acara reality show: menampilkan potongan-potongan kemajuan yang dikurasi sedemikian rupa, sementara kejadian sebenarnya—ketimpangan sosial, pengangguran digital, hingga minimnya literasi—dibiarkan di balik layar.
Narasi media dan pemerintah sering menggiring Society 5.0 sebagai solusi, bukan sebagai debat terbuka. Kritik sering dipinggirkan, seakan skeptisisme dianggap musuh kemajuan.
Pertanyaan besar dari Society 5.0 sebenarnya sederhana:
Apa arti menjadi manusia ketika algoritma mulai mengatur pilihan kita?
Manusia perlahan berubah dari subjek menjadi kumpulan data. Selera belanja, preferensi politik, hingga perilaku sosial dikurasi, dianalisis, dan diarahkan oleh mesin.
Ketika teknologi mulai menentukan apa yang kita lihat, baca, dan putuskan, apakah kita masih “mengendalikan” atau justru sedang berjalan mengikuti alur algoritma?
Etika menjadi medan pertempuran baru. Nilai-nilai kemanusiaan yang dulu menjadi kompas moral kini digeser oleh efisiensi, kecepatan, dan logika matematis.
Di tengah euforia Society 5.0, kita jarang bertanya: apakah ini utopia atau distopia yang dipoles rapi?
Potensi pengawasan massal meningkat, privasi menghilang, dan manipulasi data menjadi senjata politik baru. Semua terjadi dengan dalih “demi kenyamanan publik”.
Masyarakat semakin pintar secara teknologi, tetapi seringkali tidak semakin bijak. Kita berlari menuju masa depan yang canggih, namun paradox-nya: makna hidup, relasi manusia, dan identitas justru kabur.
Ada risiko bahwa Society 5.0 bukan masa depan impian, tetapi masa depan yang kehilangan arah.
Kabar baiknya, masa depan tidak harus mengikuti skenario yang ditulis oleh segelintir pengembang teknologi atau pemangku kebijakan. Masyarakat sipil memiliki ruang besar untuk merebut kembali narasi.
Pendidikan digital, literasi teknologi, ruang dialog budaya, hingga partisipasi publik dalam kebijakan data adalah fondasi untuk membentuk Society 5.0 yang lebih adil dan inklusif.
Society 5.0 tidak harus berhenti menjadi jargon futuristik. Ia bisa menjadi proyek besar kemanusiaan—jika publik terlibat penuh dalam merumuskan dan mengawasi arah perubahan.
Pertanyaannya kini bukan lagi “apa itu Society 5.0?”, melainkan:
Mampukah kita menciptakan Society 5.0 yang benar-benar humanis?
Penulis :
Supangat, Ph.D., ITIL., COBIT., CLA., CISA, Wakil Rektor II Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
