SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Di tengah gegap gempita kemajuan digital, istilah Society 5.0 kembali berseliweran di forum-forum kebijakan, ruang akademik, hingga khutbah motivasi tentang masa depan. Konsep ini dijual sebagai dunia ideal ketika teknologi akhirnya “mengabdi” pada manusia. Namun, apakah ia benar-benar solusi masa depan atau sekadar episode lain dari reality show tentang nasib manusia di tengah ledakan digital?
Society 5.0 pertama kali dikenalkan Jepang sebagai visi masyarakat super cerdas yang memadukan teknologi dan nilai kemanusiaan. Dalam narasi resminya, inilah titik evolusi setelah era berburu, agraris, industri, hingga digital.
Di atas kertas, konsep ini terdengar seperti utopia yang memesona. Artificial intelligence bekerja untuk kebaikan, big data membantu menyelesaikan masalah publik, sementara manusia disebut tetap menjadi pusat dari semua inovasi. Seolah-olah teknologi akhirnya mampu menjawab tantangan besar: krisis ekonomi, perubahan iklim, dan ketidaksetaraan global.
Tapi, janji selalu lebih manis daripada realitas. Pertanyaannya: apakah Society 5.0 betul-betul menuju ke sana? Atau justru menjadi doa optimis yang tak pernah benar-benar disentuh oleh masyarakat di dunia nyata?
Narasi dominan mengatakan bahwa AI, IoT, dan big data akan membebaskan manusia dari pekerjaan berat dan membuka ruang kreativitas. Namun, realitas di lapangan tidak selalu seindah itu.
AI memang membantu, tapi ia juga menggusur. Big data mempermudah layanan publik, tapi juga mengasingkan mereka yang tidak punya akses digital. IoT memudahkan hidup, tapi sekaligus menjerat manusia dalam ketergantungan teknologi.
Pertanyaan yang patut diajukan:
Apakah kita sedang menciptakan teknologi yang memanusiakan manusia, atau kita justru diam-diam membiarkan teknologi mengatur bagaimana manusia harus hidup?
Ketimpangan digital semakin melebar. Mereka yang melek teknologi melesat, sementara jutaan orang lain tertinggal—bahkan sebelum lombanya dimulai.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
