SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Di tengah persaingan ketat Asia Tenggara, Indonesia menghadapi kenyataan pahit: produktivitas tenaga kerja nasional masih berada di papan bawah. Meski jumlah pekerjanya besar, daya saing Indonesia tetap tertahan oleh masalah klasik mulai keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan pekerja yang belum menjadi prioritas utama.
Alarm ini disampaikan Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Provinsi Jawa Timur dalam Seminar Nasional “Peran Kedokteran Okupasi dalam Meningkatkan Kesehatan dan Produktivitas Kerja” yang digelar di Movenpick Hotel Surabaya, Sabtu (6/12/2025). Acara ini juga dirangkai dengan pelantikan Pengurus PERDOKI Jawa Timur periode 2025–2028.
Wakil Ketua Dewan K3 Jatim, Edi Priyanto, tampil sebagai keynote speaker dan memotret kondisi lapangan yang selama ini jarang disorot. Indonesia memiliki sekitar 146 juta pekerja, tetapi produktivitas per jam baru berada di kisaran USD 14, menempatkan Indonesia di posisi kelima se-ASEAN.
“Jumlah besar tidak otomatis berarti performa tinggi,” ujar Edi. “Kalau keselamatan, kesehatan, dan sistem kerja tidak dikelola secara serius, produktivitas tidak akan pernah naik.” lanjutnya.
Data Dewan K3 Jatim memperlihatkan fakta yang cukup mengkhawatirkan. Sekitar 60 persen pekerja mengalami burnout, diperparah oleh pola kerja hybrid yang melelahkan, masalah ergonomi, serta meningkatnya kasus penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, hingga obesitas. Tekanan psikologis juga memicu naiknya risiko kecelakaan kerja.
“Kita sedang menghadapi silent crisis—krisis kelelahan yang membuat produktivitas perlahan terkikis,” tegas Edi.
Dalam perspektif Human and Organizational Performance (HOP), Edi menekankan bahwa kesalahan pekerja sering kali muncul bukan karena individunya tidak kompeten, tetapi karena sistem kerja yang tidak ramah manusia.
“Kalau sistemnya lelah, manusianya pasti lelah. Ketika sistem gagal melindungi pekerja, produktivitas runtuh,” lanjutnya.
Dari sisi global, ILO menegaskan bahwa isu K3 kini bukan lagi persoalan kepatuhan semata, tetapi bagian dari strategi ekonomi. WHO juga mencatat bahwa program well-being di tempat kerja mampu meningkatkan produktivitas hingga 20 persen.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
