SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Banyak perusahaan mengeluh sulit mempertahankan karyawan terbaik. Ketika surat pengunduran diri menumpuk, manajemen biasanya sibuk mengevaluasi struktur gaji atau menyalahkan mentalitas generasi baru yang dianggap kurang tangguh. Mereka sering lupa mendiagnosis satu penyakit kronis yang khas dan masih mengakar di banyak perkantoran Indonesia yaitu budaya "Asal Bapak Senang".
Di permukaan, kantor dengan budaya ABS terlihat harmonis. Tidak ada bantahan, semua instruksi atasan disetujui, dan rapat berjalan mulus tanpa debat. Namun, ini adalah ketenangan yang menipu. Budaya ABS sejatinya adalah racun manis yang membunuh karakter Sumber Daya Manusia (SDM). Ketika bawahan dikondisikan untuk hanya mengatakan apa yang ingin didengar oleh atasan, organisasi kehilangan aset terpentingnya: kejujuran dan nalar kritis.
Peran komunikasi organisasi sering kali disalahartikan hanya sebatas penyebaran informasi dari atas ke bawah. Padahal, esensi komunikasi adalah pertukaran makna. Dalam jeratan budaya feodal ABS, pertukaran ini macet. Karyawan memilih diam daripada dianggap membangkang; mereka menutup-nutupi kesalahan fatal daripada dimarahi, dan ide-ide inovatif mati sebelum sempat diucapkan karena takut menyinggung ego pimpinan.
Dampaknya sangat destruktif. SDM yang cerdas sekalipun akan tumpul jika ditempatkan dalam ekosistem yang "bisu" seperti ini. Alih-alih berkembang menjadi profesional yang inovatif, mereka berubah menjadi robot yang pasif. Inilah alasan mengapa banyak Gen Z yang cenderung lebih vokal dan menghargai egaliterisme memilih untuk melakukan quiet quitting atau resign. Mereka bukan tidak mau bekerja keras, mereka hanya alergi terhadap kepalsuan komunikasi di tempat kerja.
Sering kali dalih efisiensi digunakan manajemen untuk membenarkan gaya kepemimpinan otoriter ini. Debat dianggap membuang waktu. Pandangan ini cacat logika. Biaya yang harus dibayar akibat komunikasi ABS seperti keputusan strategis yang salah karena data yang dimanis-maniskan, konflik internal yang terpendam, hingga hilangnya talenta terbaik, jauh lebih mahal daripada waktu yang diluangkan untuk berdialog secara terbuka.
Meningkatkan kualitas SDM tidak cukup hanya dengan pelatihan teknis. Organisasi harus berani membongkar budaya komunikasi feodal. Pemimpin harus bertransformasi dari sekadar pemberi perintah menjadi pendengar yang aktif, menciptakan ruang aman (psychological safety) di mana kritik diterima sebagai masukan, bukan ancaman.
Sudah saatnya kita berhenti memperlakukan karyawan sekadar sebagai alat produksi yang harus patuh buta. Investasi teknologi canggih akan sia-sia jika pemimpinnya masih menuntut untuk selalu dibenarkan. Menghapuskan budaya 'Asal Bapak Senang' dan menggantinya dengan komunikasi yang bermartabat adalah syarat mutlak bagi organisasi yang ingin bertahan di era persaingan modern.
Penulis
Mochamad Figo Putra Akbar Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
