SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Kita sedang menghadapi sebuah ironi besar. Generasi Z sering diagungkan sebagai digital native yang paling terkoneksi dalam sejarah manusia. Di ranah maya, mereka vokal, kritis, dan mampu menggerakkan tren global hanya dengan jempol. Namun, realitas di lapangan menunjukkan anomali yang mencemaskan, begitu diminta berdiri di depan mimbar, memimpin rapat luring, atau sekadar berargumen tanpa perantara layar, banyak dari mereka mendadak bisu.
Fenomena ini bukan sekadar masalah demam panggung biasa. Ini adalah gejala dari krisis kepercayaan diri yang lebih dalam. Ketergantungan pada komunikasi berbasis teks dan emoji telah mengikis kemampuan verbal spontan generasi saat ini. Akibatnya, kita memiliki angkatan kerja yang cerdas secara digital, namun tumpul dalam artikulasi verbal. Padahal, dalam lanskap profesional yang kian buas, kemampuan public speaking bukan lagi sekadar pelengkap (nice-to-have), melainkan keterampilan bertahan hidup.
Mengapa urgensi ini memuncak sekarang? Jawabannya sederhana: Kecerdasan Buatan (AI).
Di saat ChatGPT dan berbagai perangkat AI mampu menulis esai, menyusun kode pemrograman, hingga merancang strategi pemasaran dalam hitungan detik, nilai jual kemampuan teknis manusia perlahan terdevaluasi. Namun, ada satu hal yang belum bisa ditiru oleh algoritma manapun, yaitu karisma, empati, dan kemampuan persuasi seorang manusia di atas panggung.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
