RR juga merasa aneh karena mata rantai Pemilu sangat panjang. Rakyat memilih di TPS, box suara dibawa ke Kecamatan, dibawa ke kabupaten, kemudian dibawa ke ibu kota provinsi.
"Panjang sekali mata rantainya dan justru di mata rantai inilah terjadi kecurangan seperti box diganti, suaranya diganti, dan sebagainya," ungkapnya.
RR menyarankan agar pemerintah pasca Jokowi nanti menghapuskan mata rantau Pemilu tersebut guna mengantisipasi kecurangan.
Apalagi saat ini era digital. Data dari 8.800 TPS bisa langsung dikirim ke komputer pusat dan bisa online. Dokumen-dokumen bisa dikirim secara digital.
"Sebenarnya, jumlah datanya kecil hanya 8.800 TPS dan setiap TPS paling hanya ada 400 suara," ujarnya.
RR mencontohkan di Cina dengan jumlah penduduk 1,4 miliar. Namun pemerintah di sana sudah mempunyai data digital wajah dari semua penduduknya.
"Jadi, mereka punya data facial, misalnya mukanya Refly, yang titiknya sampai ratusan ribu titik, baik cahaya dan nuance-nya yang beda-beda, bisa dibedakan antara Refly dan ribuan orang lain yang nyaris sama," kata RR dalam podcast tersebut.
Tapi RR ragu apakah Bawaslu dan KPU yang dibentuk oleh Jokowi hari ini memiliki kemampuan seperti itu.
"Jadi memang ada baiknya Mas Jokowi mundur sehingga kita bisa membuat sistem pemilu yang betul-betul adil dan amanah. Pasti hasilnya juga akan lebih baik karena nanti threshold akan dinolkan sehingga lebih kompetitif," ujarnya lagi.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait
