Wakil Rektor Bidang Internasionalisasi, Digitalisasi dan Informasi (IDI) Unair itu menjelaskan, temuannya tersebut lantas menjadi fenomena yang menarik perhatian dunia. Sebab, rata-rata tingkat prevalensi Helicobacter pylori di seluruh dunia adalah 40 sampai 60 persen.
“Ini menjadi pusat perhatian. Di situlah publikasi-publikasi kita bisa diterima. Di negara-negara maju seperti Jepang prevalensinya mencapai 40 sampai 60 persen. Sedangkan negara-negara Afrika di angka 60 sampai 70 persen. Nah, kita ini hanya dua persen, makanya menarik,” terangnya.
Sebagai informasi, sebelumnya dr Miftah juga kerap diminta memaparkan hasil kajiannya di Taiwan dan Korea Selatan. Menurutnya, tidak ada bidang penelitian yang sia-sia.
Dahulu ia berpikir bahwa perspektif penelitian Helicobacter pylori sangat rendah. Tapi hal itu justru membawanya studi lanjut ke Jepang hingga Amerika.
Atas keberhasilannya itu, dr Miftah berharap dapat memacu para peneliti Indonesia, bahwa molecular epidemiologi masih menjadi penelitian yang cukup prospektif untuk dijalani.
“Walaupun bidang penelitian kita tidak terlalu prospektif, tetapi jika tekun pada suatu bidang terus-menerus ternyata juga memberikan dampak yang cukup besar,” pungkasnya.
Editor : Ali Masduki