SURABAYA, iNews.id - Bencana gempa bermagnitudo 5,6 yang menimpa Kabupaten Cianjur, Senin (21/11) siang, menelan lebih dari 100 orang korban jiwa dan kerugian berupa kerusakan ribuan bangunan.
Menurut pengamatan peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) ITS Dr Ir Amien Widodo MSi, gempa Cianjur tersebut terjadi akibat lempeng tektonik yang bergerak dan menekan wilayah Indonesia sejak jutaan tahun lalu. Namun, sumber gempa darat dari sesar aktif ini masih belum diketahui secara pasti.
Dirunut berdasarkan peta, berdekatan dengan Cianjur terdapat sesar Cimandiri yang membentang mulai dari Teluk Pelabuhan Ratu hingga Cianjur. Sesar ini pernah mengguncang Sukabumi pada tahun 2001 silam.
“Namun, letak sesar yang berada jauh di sebelah utara tempat kejadian dipastikan bukan penyebab dari gempa Cianjur ini,” tegas Amien.
Laporan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 22 November 2022 pagi mencatat sebanyak 103 orang meninggal dunia akibat dampak gempa.
Sebanyak 377 orang mengalami luka-luka dan ada 7.064 orang mengungsi akibat bencana alam ini. Belum lagi ribuan bangunan juga mengalami kerusakan ringan hingga berat.
Peristiwa gempa tersebut cukup terasa guncangannya. Meskipun tergolong berkekuatan kecil, posisi peristiwa gempa yang dangkal menyebabkan kerusakan bangunan yang berada di atasnya. Untungnya, gempa yang terjadi tersebut tidak berpotensi tsunami karena sumber gempa berasal dari daratan.
Dikatakan dosen Departemen Teknik Geofisika ITS ini, gempa merupakan suatu peristiwa yang tidak bisa diprediksi kemunculannya.
Namun, berkaca dari peristiwa gempa yang telah melanda beberapa kali di Indonesia, seharusnya bisa dijadikan acuan mitigasi.
Mitigasi sendiri dibagi menjadi dua jenis. Yakni mitigasi struktural yang berfokus pada pembangunan infrastruktur dan mitigasi nonstruktural yang berfokus pada edukasi masyarakat.
Lebih lanjut, Amien juga menjelaskan pertolongan gempa berdasarkan hasil survei gempa Kobe 1995. Menurut survei tersebut, pertolongan berasal dari diri sendiri 35 persen, keluarga 32 persen, tetangga 28 persen, dan sisanya 5 persen dari luar. Dapat disimpulkan, tanggung jawab terbesar akan keselamatan kita berada pada diri sendiri.
“Tanamkanlah pengetahuan tentang gempa agar bisa selamat,” tuturnya.
Tak hanya itu, Amien juga berharap pemerintah untuk lebih memetakan sesar yang ada di Indonesia dan memberikan pemetaan bagaimana semestinya jarak dan model rumah dibangun.
“Perlu diingat bahwasanya gempa tidak membunuh, tetapi bangunanlah yang menyebabkan korban sehingga pemetaan perlu dilakukan,” tegasnya.
Terakhir, Amien berharap masyarakat bisa mengembalikan literasi kebencanaan. Semestinya, masyarakat jangan berpikir bahwasannya bencana merupakan takdir, azab, maupun kutukan.
“Penumbuhan pengetahuan akan ancaman di sekitar akan mengurangi risiko bencana,” pungkas Amien.
Editor : Ali Masduki