Dia menjelaskan, hal tersebut sesuai dengan norma dalam pasal 10 Ayat (1) UU nomor 8 Tahun 2011 yang berbunyi, "Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat".
"Sampai saat ini Pasal 168 ayat 2 dalam UU Pemilu tidak/belum berubah atau tidak diubah. Sebagai penyelenggara Pemilu, norma yang berlaku wajib dilaksanakan. Melaksanakan UU Pemilu bersifat imperatif," tandasnya.
Menurut Pengamat Politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Ali Sahab, Pemilu yang menerapkan proporsional tertutup atau terbuka memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Namun sangat disayangkan, jika Ketua KPU RI melontarkan wacana bahwa Pemilu 2024 menerapkan proporsional tertutup dalam menentukan calon legislatif atau anggota dewan.
"Sekarang ini tidak perlu melontarkan wacana. Saat ini KPU harus konsen di pemilu 2024. Setelah itu, silahkan ditata seperti apa," katanya.
Staff Pengajar di Departemen Politik FISIP Unair menambahkan, saat ini tidak elok untuk membahas wacana penerapan kembali proporsional tertutup.
Karena yang diuntungkan adalah partai besar, dalam artian yang menentukan anggota dewan dari partai dan tidak ada secercah pemilih untuk memilih calegnya.
"Saya kira ini (wacana) kurang elok. Permainan sudah berjalan, ujug-ujug (tiba-tiba) wasit memberikan aturan baru," terangnya.
Editor : Ali Masduki