Prinsip utama anak kandung adalah anak yang dihasilkan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah dan resmi. Jadi prinsip utama anak kandung ada disitu, karena definisi anak angkat terkait dengan kedudukan hukum suami istri atau ibu bapaknya. Apakah perkawinannya tersebut memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya serta perkawinan itu dicatat”.
Sehingga manakala anak itu dihasilkan dan dilahirkan dalam perkawinan maka harus dirujuk dahulu apakah perkawinannya sah atau tidak. Apabila perkawinannya tidak sah yaitu tidak memenuhi syarat atau rukun perkawinan dalam Agama Islam atau syarat sah oleh agama yang bersangkutan maka anak itu tetap disebut anak luar kawin. Sering juga kita temui dimana ibu bapaknya sah menikah akan tetapi tidak resmi, maka itu juga termasuk kategori anak luar kawin dikarenakan tidak tercatat. Di dalam pembuatan akta kelahiran anak tersebut pastinya tidak akan ada nama bapaknya. Dikarenakan pada waktu pengajuan pembuatan akta kelahiran diharuskan membawa buku nikah bapak ibunya.
Status Hukum Anak Kandung dan Anak Angkat
Apabila ditanyakan status hukum anak maka harus dilihat status hukum perkawinan kedua orang tuanya. Ada juga kedua orang tua yang menikahnya tidak sah tetapi resmi, misalkan nikah beda agama. Nikah beda agama dalam Hukum Islam tidak boleh, artinya tidak memenuhi syarat dan rukun dalam syariat serta tidak memenuhi syarat pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam hal ini syaratnya tidak sah akan tetapi resmi, karena resmi itu sifatnya administratif.
Jadi apabila ditanyakan status hukum anak maka anak kandung adalah anak yang dilahirkan secara sah dan resmi dari perkawinan ibu bapaknya. Sedangkan status hukum anak angkat adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan ibu bapaknya. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) atau Instruksi Presiden No.1 Tahun 1974, kalau ditanyakan status hukum anak angkat di dalam Kompilasi Hukum Islam maupun di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dinyatakan dalam Pasal 171 huruf (h), Kompilasi Hukum Islam, mendefinisikan anak angkat adalah “anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan”. Artinya anak angkat yang ditentukan di dalam Kompilasi Hukum Islam ini yang beralih hanya tanggung jawabnya saja terhadap biaya pemeliharaan dan penafkahan anak.
Hak Waris Anak Kandung dan Anak Angkat
Anak kandung mempunyai hak terhadap pengasuhan, penafkahan dan perwalian. Jadi ada 3 hak yang mengiringi seorang anak yaitu hak pengasuhan terkait dengan psikologi/ perkembangan kejiwaan anak tersebut, kemudian ada hak untuk mendapatkan nafkah dari kedua orang tuanya dan ada hak perwalian manakala anak tersebut masih dibawah umur.
Apabila orang tuanya meninggal dunia maka anak tersebut mempunyai hak peralihan terhadap harta orang tuanya tadi. Atau apabila orang tuanya bercerai maka anak tersebut mempunyai hak pengasuhan dari ibunya, mempunyai penafkahan dari bapaknya dan anak tersebut juga mempunyai hak perwalian dirinya dari kedua orang tuanya. Artinya putusanya hubungan perkawinan antara kedua orang tua tidak memutuskan haka nak dari orang tua dan tidak memutuskan kewajiban orang tua terhadap anaknya.
Berbeda dengan anak angkat, anak angkat mempunyai hak untuk dinafkahi, mempunyai hak untuk diasuh, mempunyai hak orang tuanya untuk menjadi wali atas dirinya karena anak tersebut belum cakap hukum. Manakala anak tersebut sudah cakap hukum maka dia terlepas dari perwalian orang tua angkatnya. Apabila orang tua angkatnya meninggal dunia maka anak tersebut tidak mendapatkan peralihan hak waris dari orang tuanya tadi.
Akan tetapi ada solusi lain terhadap peralihan harta tersebut yaitu berupa wasiat atau hibah. Jadi ada solusi lain karena orang tua angkatnya meninggal dunia maka dia bisa mendapatkan hak dengan cara wasiat. Bahkan ada yang ditentukan sebagai wasiat wajibah sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 ayat (a) yang berbunyi, “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”.
Wasiatkan wajibah ini berbeda dengan wasiat pada umumnya. Kalau wasiat pada umumnya, si pemberi wasiat memberi tahu/ mengemukakan untuk memberikan hartanya kepada si penerima wasiat. Dalam hal ini harta tersebut tidak bisa beralih sebelum si pemberi wasiat meninggal dunia akan tetapi harta tersebut akan beralih ketika si pemberi wasiat telah meninggal dunia.
Berbeda dengan wasiat wajibah, anak angkat terhadap orang tua angkat atau sebaliknya dari orang tua angkat terhadap anak angkat. Di dalam Kompilasi Hukum Islam dimungkinkan adanya peralihan harta dari orang tua angkat yang meninggal terhadap anak angkat. Caranya adalah para ahli waris yang lain tahu kalau ada kedekatan psikologis antara orang tua angkat yang telah meninggal tadi dengan anak angkatnya, maka ahli waris bersepakat memberikan bagian dari harta waris yang mereka dapatkan maksimal sampai batas 1/3.
Jadi yang memberi tahu/ mengemukakan keinginan tersebut bukan dari orang tua angkat tadi sebagai pemilik harta akan tetapi dari para ahli waris. Jadi ditentukanlah anak karena angkat tadi mempunyai kedekatan psikologis dengan orang tua angkat yang sudah meninggal maka ahli waris sepakat dan mengajukan ke Pengadilan Agama untuk memberikan wasiat wajibah. Prinsipnya kalau wasiat wasibah tidak ada penyataan wasiat dari pemilik harta akan tetapi adanya penentuan dari para ahli waris lain untuk peralihan harta dari orang tua angkat kepada anak angkat.
Penulis : Oktavianto Prasongko, SH, M.Kn
Kantor Hukum Oktavianto & Associates
Jalan Patua Nomor 21-C, Kota Surabaya
Kontak telpon/ WhatsApp : 0877-2217-7999
Email : [email protected]
Editor : Arif Ardliyanto