Pada akhirnya kita akan menemukan bahwa segala hal yang kita kejar untuk "memuasi" diri akan bermuara di dalam diri kita. Bukan kekayaan itu sendiri yang membahagiakan, tapi bagaimana kita memaknai dan menggunakannya. Kebaikan tidak berada pada kekuasaan itu sendiri, tapi pada cara kita memanfaatkannya.
Harta dan pangkat bisa menjadi malapetaka jika dipenuhi dengan kerakusan, muslihat, dan egoisme. Bahkan, hampir seluruh perang yang memusnahkan dalam sejarah peradaban manusia bermula dari kerakusan akan harta dan kekuasaan. Tapi, di tangan manusia yang telah menemukan dirinya, harta dan kekuasaan bisa menjadi sarana untuk mencapai kebaikan dan kemuliaan.
Syams Tabrizi, seorang sufi pengembara dari Iran, guru spiritual Jalaluddin al-Rumi, suatu kali pernah menyatakan, "Ketika seorang sufi masuk ke kedai minuman, kedai minuman itu ruang ibadahnya. Tapi ketika seorang pemabuk masuk ke ruang ibadahnya, ruang itu menjadi kedai minumannya."
Pada akhirnya, semuanya memusat pada diri. Kesejatian tidak berada di luar sana, tapi di dalam sini. Sang Sufi al-Rumi suatu kali menulis, "Jangan melihat ke luar. Lihatlah ke dalam diri sendiri dan carilah itu."
Semua yang ada di luar diri kita adalah ketidaksempurnaan. Sebanyak apapun kita menumpuknya, yang kita punyai hanyalah ketidaksempurnaan dan keterbatasan. Sementara, seluruh pencarian sesungguhnya adalah perwujudan kodrat manusia pada kesempurnaan, pendakian pada sang Maha Sempurna.
Kita diperkenankan memiliki apapun yang diciptakan Allah. Bahkan kita ditantang-Nya untuk menembus angkasa. Tapi semua itu hanya akan membawa kebaikan jika kita telah menemukan diri sendiri. Mengapa? Karena _"man arafa nafsahu fa qad arafa rabbahu"_ (Siapa yang menemukan dirinya, sungguh dia menemukan Tuhannya).
Penulis :
Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M. Ag (Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI)
Editor : Arif Ardliyanto