SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Menjadi guru tidaklah mudah. Sebagai pendidik, guru memiliki tanggungjawab besar terhadap anak didiknya. Ia harus memastikan apa yang diajarkan bisa diterima dan diamalkan oleh siswa.
Bagi guru di perkotaan mungkin tidak sulit dalam melakukan transformasi ilmu pengetahuan. Namun bagaimana jika guru itu berada di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T). Tentunya bukan hanya persoalan infrastruktur, tetapi dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM) peserta didik juga sangat jauh jika dibandingkan dengan anak kota. Maka guru harus memiliki siasat cerdik untuk mencerdaskan anak bangsa.
Seperti kisah Guru Rukmini. Dia adalah guru di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat yang rata-rata sekolahnya berada di daerah 3T. Rukmini bercerita, tidak sedikit peserta didiknya yang enggan pergi ke sekolah.
Salah satu faktor penyebabnya yakni ekonomi. Sehingga menurut orangtua, bahwa pendidikan itu tidak penting. Disana, para Orangtua lebih memilih mengajak anak-anaknya untuk mencari ikan dan rumput laut. Padahal mulai kelas 1-6 belum bisa membaca. Murid-murid Rukmini itu masih sebatas mengenal huruf.
"Menurut orangtua disana bahwa pendidikan itu tidak penting. Yang lebih penting adalah menghasilkan uang," kata Rukmini usai menjadi pembicara dalam Bedah Buku ‘Kisah Transformasi Pembelajaran di Daerah’ di Surabaya, Rabu (21/6/2023).
Baca Juga :
Gandeng Inovasi, Kemenag Jatim Percepat Implementasi Kurikulum Merdeka
Kegiatan ini digelar oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Provinsi Jawa Timur bersama Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (Inovasi) guna mempercepat implementasi Kurikulum Merdeka pada tahun akademik 2022/2023.
Rukmini melanjutkan, pada tahun 2020 lalu ketika wabah pandemi melanda dan ada pembatasan kegiatan sosial, kondisi pendidikan juga diperparah dengan terbatasannya akses internet. Proses belajar mengajar yang saat itu dilakukan secara daring pun terhenti.
Rimini yang saat itu masih guru di Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Yasim Roka pun kawatir jika dibiarkan maka semakin parah. Untuk itu, dia mengajak guru-guru yang lain untuk jemput bola.
"Pada saat itu saya kawatir jika anak-anak seperti ini terus. Ahirnya saya berinisiatif mengajak guru-guru pergi belajar di pinggir pantai. Sehingga anak-anak yang gak masuk sekolah bisa ikut belajar di pantai," ungkapnya.
Selama belajar di pantai, guru di Indonesia Timur ini cukup kreatif. Ketertabasan fasilitas belajar ternyata tidak menghalangi perjuangannya. Karena tidak ada papan tulis, guru-guru memanfaatkan pasir sebagai papan tulis.
"Pada saat itu kita melakukan proses pembelajaran di pantai. Saya manfaatkan pasir untuk dijadikan papan tulis. Disitu saya menulis huruf dan suku kata. Jadi anak-anak belajar disitu," ucapnya.
Rukmini SPdI, yang saat ini menjabat sebagai Kepala MTs Az-Zainuddin inipun akhirnya menyadari bahwa belajar di luar ruangan itu sangat menyenangkan.
Anak-anaknya yang awalnya tidak mau sekolah akhirnya semangat. Bahkan orangtuanya yang mengajak anaknya mencari ikan di panti pun ikut belajar juga. Momen itu sekaligus dimanfaatkan oleh Rukmini untuk mengubah pendangan orangtuan, bahwa pendidikan itu penting.
"Dari situ saya memberikan pemahaman jika anak-anak sudah pintar, maka bukan anaknya yang akan mengejar uang, tetapi uang yang mengejar anaknya. Sampai disitulah mereka sadar bahwa pendidikan itu penting. Anak-anak yang malas rajin berangkat ke sekolah bahkan mereka lebih senang belajar di luar daripada belajar di dalam kelas," tuturnya.
Proses belajar mengajar di pantai itupun berjalan cukup lama, sekitar 1 smester. Saat ini, kata Rukmini, peserta didik yang mulanya baru mengenal huruf, sudah pintar baca cerita. Bahkan mereka bisa bercerita sendiri tentang apa yang mereka lalukan.
Rukmini sebelumnya sudah memperoleh pembekalan untuk peningkatan keterampilan literasi dasar melalui program GEMAR Literasi pada 2020. Selanjutnya, dia melakukan pendekatan pembelajaran literasi yang disesuaikan dengan level kemampuan siswa di MIS Yasim Roka.
Siswa-siswa diidentifikasi tingkat kemampuan literasinya melalui asesmen diagnostik, dan kemudian dikelompokkan berdasarkan level kemampuannya. Pembelajaran dilakukan berdasarkan level masing-masing kelompok siswa.
Dia mengawal agar pendekatan ini benar-benar dijalankan. Hasilnya kemudian terlihat dalam waktu yang tidak begitu lama. Rata-rata dalam 4 minggu, pendekatan ini telah mampu meningkatkan keterampilan literasi siswanya.
Melalui sosial medianya, Rukmini kemudian menyebarluaskan pendekatan pembelajaran berdiferensiasi dengan pencapaian yang telah terjadi di sekolahnya.
Cerita baik yang dia bagikan itu kemudian menarik perhatian madrasah-madrasah lain untuk mendapatkan pembekalan yang serupa. Rukmini kemudian mendapat banyak permintaan untuk memberikan pelatihan bagi guru di berbagai madrasah di Kabupaten Bima.
Hingga saat ini, dengan dukungan berbagai pihak, sudah 63 madrasah dari 7 kecamatan di Kabupaten Bima yang mengenal dan mendapatkan pembekalan terkait pembelajaran berdiferensiasi. Semua kegiatan pembekalan itu dibiayai oleh dana swadaya dari madrasah.
Editor : Ali Masduki