SURABAYA, iNews.id - Tim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), bekerja sama dengan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Soetomo dan Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA), membuat inovasi alat monitoring rehabilitasi stroke dengan peninjauan sinyal listrik otak.
Inovasi tersebut untuk memperkuat rehabilitasi pasien stroke yang saat ini masih mengandalkan metode pengamatan visual. Sehingga perkembangan fisik pasien pascastroke sulit dipantau karena kurang akuratnya pengamatan.
BACA JUGA:
Mahasiswa ITS Gagas Bahan Bakar Sintetis
Ketua tim penelitian, Adhi Dharma Wibawa, mengataakan gejala stroke mampu merusak kemampuan motorik seseorang, sehingga pemantauan motorik pasien secara berkala dapat meningkatkan akurasi diagnosis.
Kemampuan motorik ini dapat ditinjau berdasarkan sinyal listrik otak manusia atau yang dikenal dengan istilah Electro Encephalography (EEG).
“Alat dapat digunakan pasien secara mandiri dengan bantuan tenaga kesehatan dari jarak jauh, sehingga mengurangi aktivitas fisik yang dapat memperburuk kondisi pasien,” katanya.
Dosen Departemen Teknik Komputer ITS ini menjelaskan, bahwa sinyal EEG akan muncul setiap manusia melakukan aktivitas. Mulai dari mengingat, mendengarkan, melihat, bahkan saat menggerakkan anggota tubuh.
Maka dari itu, pasien akan diminta untuk melakukan beberapa pergerakan fisik oleh tenaga kesehatan untuk menganalisis sinyal EEG pasien.
“Pasien hanya perlu menggunakan alat di kepala, lalu elektroda yang mengenai kulit kepala akan menangkap dan menguatkan sinyal EEG,” jelas lelaki asal Surabaya ini.
Sinyal listrik yang dihasilkan otak sendiri sangat kecil hanya berskala mikro volt, sehingga dibutuhkan penguatan sinyal dan penyaringan noise yang berulang.
Setelah dikuatkan, sinyal EEG akan difilter berdasarkan frekuensinya dan dikelompokkan menjadi empat jenis sinyal dasar, yaitu delta, theta, alpha, dan beta.
Sinyal yang telah dikelompokkan tersebut akan difilter sekali lagi untuk menghilangkan noise yang timbul. “Alat sangat sensitif terhadap noise bahkan dengan kedipan mata saja dapat mempengaruhi hasil,” ujarnya.
Lebih lanjut, papar Adhi, sinyal EEG yang telah difilter ini akan dihitung nilai daya yang ada dalam sinyal sebagai fungsi frekuensi. Nilai ini disebut dengan Power Spectral Density (PSD) yang dinyatakan dalam watt per hertz (W/Hz).
Adhi menuturkan bahwa dalam kondisi normal, nilai PSD pada otak kanan akan meningkat bila terjadi pergerakan di tubuh bagian kiri begitu pun sebaliknya. Pada pasien stroke kondisi tersebut dimungkinkan terjadi perubahan abnormal.
“Nilai PSD pasien stroke lebih kecil dibandigkan dengan kondisi orang normal,” tambahnya.
Adhi juga mengingatkan bahwa alat perlu disambungkan terlebih dahulu ke perangkat komputer melalui port yang tersedia saat pemakaian alat.
“Hal ini dimaksudkan untuk membaca nilai PSD secara real time serta mengkonversikan hasil perekaman EEG ke dalam bentuk txt yang akan tersimpan di komputer milik pasien,” ucap Wakil Kepala Pusat Penelitian Artificial Intelligence (AI) dan Teknologi Kesehatan ITS ini.
BACA JUGA:
ITS Tunjukkan Komitmen Menuju Zona Integritas
Berkas tersebut selanjutnya perlu diunggah ke sistem terintegrasi yang telah disediakan, sehingga penting bagi pasien melakukan registrasi terlebih dahulu. Database pasien ini akan ditinjau langsung oleh dokter yang bertanggung jawab tanpa harus bertemu langsung.
“Perkembangan pasien dapat dilihat berdasarkan nilai PSD-nya melalui data yang diunggah pasien,” terang dosen yang juga mengajar program Magister di Departemen Teknik Elektro ITS ini.
Penelitian yang telah berjalan sejak 2018 ini bekerja sama dengan ahli syaraf RSUA dr Wardah Rahmatul Islam SpS, ahli rehabilitasi pasien stroke RSUD dr Soetomo dr Muhammad Saiful Ardhi Sp S, mahasiswa ITS jenjang Magister (S-2) Monica Pratiwi dan Tanti, serta mahasiswa ITS jenjang Doktoral (S-3) Teguh Sulistyo ST MT dan Diah Risqiwati ST MT.
“Kami berharap bahwa alat ini dapat segera mendapat izin untuk digunakan secara masal dan membawa manfaat bagi masyarakat,” pungkasnya
Editor : Ali Masduki