Hodri Arif menambahkan dinamika Islam di Indonesia sering dikooptasi oleh kepentingan pragmatis menggunakan sentimen identitas. Hal itu dapat berimplikasi memecah belah umat yang dapat berpengaruh pada nasionalisme. Maka halaqah ulama ini mendesain peta jalan tatanan peradaban baru yang adil, harmonis, dan menjunjung tinggi kesetaraan dan martabat umat manusia.
Dalam pertemuan ini akan muncul banyak isu strategis yang dibahas. Pengurus PBNU KH. Ulil Abshar Abdalla menyoroti pentingnya konstektualisasi kitab kuning yang ditulis oleh ulama klasik agar tetap relevan pada masa kini.
“Dalam kitab-kitab klasik, kita mengenal istilah kafir dzimmi, saat ini kita perlu bertanya pakah kategori seperti ini masih bisa kita pakai, atau kita pahami ulang secara lebih kontekstual. Pertanyaan lain yang harus dipikirkan ulang adalah: bagaimana kedudukan minoritas (terutama minoritas agama) dalam negara bangsa ditinjau dari sudut fikih siyasah kita?" ujar Ulil.
Sudah sepantasnya Indonesia sebagai negara mayoritas Islam terbesar di dunia memiliki identitas kuat yang memiliki ciri khas. Tidak bisa dimungkiri, muslim Asia Tenggara di percaturan global sering dianggap muslim kelas dua karena mereka bukan native speaker bahasa Arab. Bahkan kajian Islam di Barat pun didominasi oleh Islam yang berkembang di kawasan Timur Tengah.
"Jarang sekali ditemui pusat kajian Islam kawasan Melayu di sejumlah perguruan tinggi Timur Tengah, bahkan di Al-Azhar pun belum ada" paparnya.
Editor : Arif Ardliyanto