JAKARTA, iNewsSurabaya.id - Puluhan masyarakat Tanjungsari, Surabaya mendatangi kantor Komisi Yudisial (KY) di Jakarta. Kedatangan mereka meminta agar KY memeriksa hakim berinisial SDN terkait dugaan suap.
Adapun informasi tersebut dikuatkan oleh 15 surat pernyataan dari ahli waris masyarakat Tanjungsari yang juga telah dinotariskan di Notaris Endang Hermawan S,H.,M.Kn.
Komari selaku ahli waris menyatakan, para ahli waris tersebut mengetahui serta mendengar adanya unsur penyuapan yang dibicarakan oleh pihak PT DST diwakili CK selaku direktur perseroan dengan kuasa hukum PT DST inisial E sewaktu di PN Surabaya pada 19 Juli 2016," ucap Komari, Jumat (27/10/2023)
Perlu diketahui, masyarakat Tanjungsari yang selama 49 tahun, yaitu sejak 1973 tanahnya seluas 35 hektare diserobot oleh tiga perusahan pengembang rumah mewah.
"Hukum perlu ditegakkan, tangkap mafia tanah dan mafia peradilan," tegas Komari.
Adapun perjalanan masyarakat Tanjungsari yang memperjuangkan haknya, sudah melalui beberapa tahapan proses hukum.
Dalam putusan nomor 1080/Pdt.G/2015/PN.Sby, yang pada pokoknya menyatakan bahwa obyek sengketa tanah 35 hektar di Kelurahan Tanjungsari yang sudah bersertifikat HGB nomor 2083 dan nomor 2084 adalah sah menurut hukum milik 96 warga Tanjungsari.
Kemudian pihak PT DST mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya dengan nomor 140/Pdt/2017/PT.SBY dan putusan hakim Pengadilan Tinggi menyatakan dissenting opinion.
Lalu warga mengajukan kasasi ke tingkat Mahkamah Agung melalui putusan nomor 781.K/Pdt/2018 pada pokok amar putusannya membatalkan banding Pengadilan Tinggi Surabaya dan memerintahkan perusahaan terkait (DST) mengembalikan hak atas kepemilikan tanah warga Tanjungsari.
Kemudian, Komari menjelaskan adapun dugaan oknum hakim berinisial SDN menerima suap atas putusan 549 PK/Pdt/2019 tanggal 3 Februari 2020 yang memenangkan PT DST.
Bahkan dalam putusan tersebut juga memerintahkan Kementerian ATR/BPN untuk membatalkan SHGB nomor 2083 dan 2084 serta mengembalikan haknya kepada 96 warga Tanjungsari.
Menurutnya, SPPT dan PBB tidak bisa dijadikan dasar untuk penyelesaian sengketa tanah dan juga bukan merupakan kepemilikan hak.
Dalam aksinya juga sempat bersitegang dengan pihak keamanan Komisi Yudisial, pasalnya sidang yang akan dilakukan tidak ada kejelasannya dan masyarakat hendak merangsek masuk.
Sampai puluhan masyarakat Tanjungsari memblokade pintu masuk dan keluar Komisi Yudisial harapannya agar dapat diberikan informasi atas tindak lanjut dari tuntutan tersebut.
Namun, akhirnya masyarakat diminta menyurati untuk beraudiensi. Setelah melayangkan surat permohonan audiensi, kemudian masyarakat membubarkan diri dengan tertib.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta