Kisah Ki Ageng Pengging menjadi sebuah drama epik, menggambarkan keberanian seseorang yang memilih jalan kehidupan yang berbeda meskipun dihadapkan pada risiko besar.
Dikutip dari Okezone, Sebelumnya, Ki Ageng Pengging sudah tiga kali menolak datang ke Demak. Mulai beralasan menunggu kepulangan Kebo Kanigara, kakaknya yang bersemedi di Gunung Merapi, hingga berterus terang enggan datang.
Penguasa Demak menganggap Pengging telah membangkang. Ia juga disyak wasangkai tengah menyusun kekuatan untuk makar. Sebab bagaimanapun Pengging adalah cucu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang telah diruntuhkan Demak.
Juga murid kinasih Syekh Siti Jenar, ulama penyebar Islam yang telah berselisih dengan Wali Songo dan dijatuhi hukuman mati. Yang tidak dimengerti oleh penguasa Demak, Ki Ageng Pengging sudah memutuskan menjauhi kekuasaan, termasuk melepas gelar kebangsawanan.
Ia melakukan “bunuh diri” kelas. Dari kehidupan priyayi agung beralih menjadi rakyat jelata dengan melakukan cara produksi lazimnya petani, yakni bercocok tanam.
Karenanya ia menolak hadir dalam pengukuhan Trenggono sebagai Sultan Demak Bintoro, menggantikan Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang mati muda. Ia memilih tenggelam dalam dzikir dan tafakur di langgarnya.
“Cara hidup dan tingkah laku keseharian (Ki Ageng Pengging) tidak mencerminkan sebagai seorang cucu raja besar, namun ia ganti dengan cara hidup seorang santri,” demikian dikutip dari buku Jalan Gila Menuju Tuhan (2013).
Editor : Arif Ardliyanto