Dr Arief menjelaskan, penggunaan vape menimbulkan kecanduan yang lebih tinggi daripada rokok konvensional. Pasalnya,vape menggunakan perasa yang menimbulkan rasa nikmat dan kecanduan bagi sang pengguna.
Hal tersebut akan menimbulkan bahaya jika pengguna vape ketergantungan menggunakannya. Tentunya, hal ini berbanding terbalik dengan awal mula vape tersebut diciptakan.
“Untuk dapat dikatakan orang tersebut kecanduan tidak ada kadar atau tingkatan tertentu. Jika sekali seseorang merasakan nikotin berapa persen pun akan memiliki kecenderungan kecanduan,” paparnya
Salah satu yang rentan mengalami risiko kecanduan vape merupakan kalangan anak muda. Umumnya, di usia muda mereka memiliki tingkat penasaran yang tinggi sehingga mulai berani untuk mencicipi rokok atau vape. Hal ini sangat disayangkan karena seharusnya anak muda melek akan kesehatan paru-paru.
“Saya harap dengan pernyataan WHO ini menyadarkan para masyarakat dan anak muda untuk memperhatikan kesehatan paru-paru. Kuatkan tekad untuk menjadi pribadi yang melek kesehatan paru-paru,” tandasnya.
Diketahui, vape adalah istilah yang umumnya digunakan untuk menyebut perangkat elektronik yang memanaskan cairan (biasanya mengandung nikotin, tetapi tidak selalu) menjadi uap yang kemudian dihirup. Proses ini dikenal sebagai "vaping." Vape umumnya digunakan sebagai alternatif untuk merokok tembakau konvensional.
Vape terdiri dari beberapa komponen utama, termasuk baterai untuk memberikan daya, atomizer untuk memanaskan cairan, dan cartridge atau tank untuk menyimpan cairan vape.
Cairan yang digunakan dalam vape disebut e-liquid atau vape juice. E-liquid dapat mengandung berbagai macam bahan, termasuk propilen glikol, gliserin, nikotin, dan berbagai jenis rasa.
Penting untuk diingat bahwa penggunaan vape tetap kontroversial, dan dampak kesehatan jangka panjangnya masih dalam penelitian.
Beberapa orang menggunakan vape sebagai alat bantuan untuk berhenti merokok tembakau, sementara yang lain mulai menggunakan vape tanpa sebelumnya merokok.
Editor : Ali Masduki