JOMBANG, iNewsSurabaya.id - Jaringan Alumni Santri Jombang (Jasijo) telah mengungkapkan catatan hitam kekerasan terhadap santri di berbagai pesantren, yang mereka gambarkan sebagai fenomena gunung es yang menakutkan.
Ketua Jasijo, Aan Anshori, mengungkapkan bahwa antara tahun 2022 hingga 2024, telah terjadi 12 kasus kekerasan yang mengakibatkan 6 santri meninggal dunia.
“Kasus terbaru di Kediri, yang telah menelan korban jiwa, hanya menjadi titik terakhir dari serangkaian peristiwa tragis ini dalam rentang waktu tersebut,” ungkap Aan dalam pernyataannya, Sabtu (2/4/2024).
Dari analisis yang dilakukan Jasijo, terungkap bahwa kekerasan tersebut terjadi secara berulang setiap tahunnya.
Tahun 2022 :
Pada tahun tersebut, kekerasan dimulai dengan kasus pertama yang menimpa AZ (15), mantan santri pesantren di kecamatan Mojo Kediri. Sebelum diusir dari pondok karena tuduhan yang tak berdasar, AZ mengalami penyiksaan yang mengerikan oleh dua pengurus pesantren.
“Rotan, barbel, hingga speaker aktif digunakan untuk menyiksa AZ sebelum ia akhirnya dikeluarkan. Peristiwa tragis ini terjadi pada 24 Mei 2022 dan tidak mendapatkan penyelesaian hukum yang memadai,” papar Aan.
Kemudian, pada bulan September 2022, AM, seorang santri Pesantren Gontor Ponorogo, menjadi korban kekerasan yang mengakibatkan kematian. Pelaku, MFA dan MA, dijatuhi hukuman 8 dan 4 tahun penjara.
Di bulan yang sama, DFA (12), santri Pesantren An-Nur 2 Bululawang Malang, mengalami patah tulang akibat kekerasan dari sesama santri, KR, pada 26 November 2022.
Inf (13), santri Pesantren al-Berr Karangjati Pandaan Pasuruan, menjadi korban kekerasan fisik yang menyebabkan luka bakar serius dan akhirnya meninggal dunia pada 1 Desember 2022, setelah dikeroyok oleh para senior.
Terakhir, GP (12), santri Ponpes As-Sadzili Sumberpasir Pakis Malang, mengalami kekerasan fisik yang mengakibatkan tiga giginya patah dan lepas pada 22 Desember 2022.
“Kejadian tragis ini menggambarkan betapa mengerikannya kekerasan yang terjadi di lingkungan pesantren, dan seringkali tidak mendapat penyelesaian yang adil secara hukum,” tambah Aan.
Tahun 2023
Kasus pertama di tahun 2023 dialami oleh BT (16), santri ponpes di kecamatan Geger Bangkalan. Ia dikeroyok para seniornya hingga tewas, sekitar Maret 2023.
“Kasus kedua ini gara-gara salah paham, SA (13), santri salah satu pesantren di Gandusari Blitar, dibacok kawannya sendiri, NA (14), 9 Maret 2023. Kasusnya ditangani polisi setempat,” ujarnya.
Kasus ketiga menimpa ADS (15) mengaku mendapatkan penganiayaan menggunakan benda tumpul dari dua orang, S dan A yang diduga merupakan pengasuh pesantren yang ditinggali ADS di Pangean Maduran Lamongan. Belum terdengar polisi menangani kasus yang terjadi Mei 2023.
Kasus keempat berinisial M (15), santri di salah satu pesantren di Paciran Lamongan, tewas janggal dengan luka seperti penganiayaan. Peristiwa ini terjadi akhir Agustus 2023 dan oleh keluarganya telah dilaporkan ke kepolisian.
Lalu kasus kelima menimpa AF (19), santri di salah satu pesantren di Lawang Malang, ditetapkan sebagai tersangka setelah menganiaya adik kelasnya, 15 tahun, dengan cara menyetrika dada korban hingga mengalami luka serius.
Tahun 2024
Pada tahun 2024, ini kasus pertama terjadi pada MAR (13), tinggal di pesantren di Kalipang Sutojoyan Blitar. MAR dikeroyok rekan-rekannya pada malam hari karena dugaan pencurian, 3 Januari 2024.
"Ia akhirnya meninggal dunia setelah beberapa hari dirawat di RSUD Ngudi Waluyo Blitar," jelas Aan.
Kemudian kasus kedua yang akhir-akhir ini menggema, menimpa Balqis Maulana (14), santri Pesantren al-Hanafiyyah Mojo Kediri, 28 Februari. Pelajar kelas IX MTs itu meninggal akibat kekerasan yang dilakukan oleh beberapa kakak seniornya di pesantren yang sama. Kasusnya ditangani polisi.
“Kami secara tegas ingin kasus seperti ini bisa ditangani dengan jeli dan profesional oleh aparat yang berwajib. Termasuk membuka kemungkinan pengurus atau pengasuh yang terbukti terlibat dalam kasus kekerasan tersebut,” katanya.
Aan mengungkapkan, aecara kebijakan, kekerasan pada santri itu seperti fenomena gunung es. “Kami menduga praktek seperti ini masih banyak yang belum terendus,” ungkapnya.
Pembelajaran merebaknya lagi kasus kekerasan itu, menurut Aan, negara sudah saatnya harus turun mengatasi melalui Kementerian Agama (Kemenag).
"Kemenag bisa turun gunung untuk mengecek dan memastikan tidak ada lagi pondok pesantren yang tidak resmi," katanya tegas.
Hal Itu juga bisa dibuktikan dari catatan Kemenag Jawa Timur yang menunjukkan ada sekitar 1.200 pesantren yang belum terdaftar di Kemenag.
“Sekarang bisa kita bayangkan jika banyaknya pesantren yang belum terdaftar, bagaimana negara bisa mengawasi praktek kekerasan terhadap santri?,” ujarnya.
Bagi Aan, seharusnya perizinan pesantren juga menjadi perhatian, sehingga tidak ada lagi pesantren yang mengatasnamakan keunikan, ke khasan, kemudian lepas dari monitoring negara.
“Sebab jika ini lepas dari monitoring negara, maka kemungkinan tidak terlindunginya hak para santri untuk mengenyam pendidikan itu semakin tinggi,” ujarnya menambahkan.
Negara harus turun untuk mengawasi bahkan membantu proses pelegalan pesantren ini. Sembari melalukan proses itu, para santrinya bisa di migrasikan lebih dulu ke pondok pesantren yang memang sudah terdaftar di Kemenag.
"Ketika pesantren sudah terdaftar di Kemenag, negara melalui Kemenag ini juga harus memastikan bahwa pesantren tersebut ramah anak," katanya.
Termasuk, imbuh Aan, memastikan adanya Satuan Gugus Tugas (Satgas) anti kekerasan yang ada di pesantren tersebut. "Keterlibatan negara ini sangat penting, mengingat banyaknya kasus kekerasan terhadap santri yang berujung kematian,” pungkas Ketua Jasijo tersebut.
Editor : Arif Ardliyanto