SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Sukses bisa menjadi milik siapa saja selama ia mau tekun dan bersungguh-sungguh. Hal tersebut seperti perjalanan Holy Ichda Wahyuni sebelum menjadi Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di UM Surabaya. Rupanya saat kecil Holy pernah menjadi korban perundungan dan bullying oleh temannya SMP dan SMA.
Sebagai anak nelayan yang tumbuh di lingkungan pesisir pantai. Holy mengaku, sejak kecil memang tidak pandai merawat diri, kulitnya kerap terbakar matahari pesisir.
“Mereka menghina saya secara fisik, pernah saya dirundung seorang teman di depan semua teman ketika ada acara di aula. Saya sangat malu, dan itu membuat rasa kepercayaan diri saya runtuh,” ujar Holy Senin (13/5/24)
Meski dari keluarga nelayan, Holy sangat bersyukur karena keluarganya memiliki mimpi yang tinggi agar anak-anaknya bisa bersekolah. Terutama kesadaran bahwa pendidikan adalah penting untuk anak anaknya, baik itu laki laki atau perempuan.
Ayahnya Yasifun adalah seorang nelayan harian yang kesehariannya mencari ikan dengan sampan kecil dan alat ala kadarnya. Sementara ibunya Nur Kholidah bekerja sebagai buruh pengupas rajungan.
Sebagai anak nelayan, dari kecil Holy terbiasa melihat bagaimana jeri payah dan perjuangan bapaknya menerjang ombak untuk nafkah dengan hasil tidak menentu.
“Sering juga saya melihat di dompet ibu hanya tersisa uang beberapa ribu rupiah saja dengan uang koin yang membuat saya harus menahan diri untuk tidak meminta banyak hal seperti snack atau mainan,”imbuh Holy lagi.
Sadar bahwa mencari nafkah itu berat, Holy pernah ikut bekerja sebagai pengupas rajungan. Meski demikian Holy selalu belajar dengan rajin, dan itu mengantarkannya selalu menduduki peringkat pertama sejak di Sekolah Dasar (SD) sampai SMA. Menurutnya, hanya beberapa kali saja Holy mendapat ranking 3, karena saat ujian dirinya sakit.
Prestasi menjadi peringkat di kelas rupanya cukup membantu meringankan SPP sekolahnya. Holy mengaku senang sekali setiap momentum pengambilan rapot ketika melihat wajah bangga ibunya membawa hadiah piagam atau di saat pelepasan akhir tahun mendengar nama ayahnya disebut ketika ia menduduki juara umum di aspek akademik.
“Saya masih ingat saat itu, baju bapak saya paling sederhana, hanya kemeja hari raya yang dikenakannya berulang, di antara para bapak yang mengenakan jas ketika anak mereka juga disebut karena prestasinya,” kenang Holy lagi.
Editor : Ali Masduki