Terkait Soal Perubahan Undang-Undang Pilkada yang telah dibahas oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR RI yang kemudian hendak diparipurnakan hari ini, urung karena tidak memenuhi syarat quarom rapat paripurna.
Perlu dipahami bahwa secara yuridis konstitusional putusan MK berdasarkan Pasal 24C UUD 1945 memiliki kekuatan final dan mengikat, yang itu artinya berlaku sejak dibacakan, mengikat lembaga-lembaga negara, termasuk DPR dan seluruh rakyat Indonesia.
Bahwa terkait putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 di mana dengan batas usia calon kepala daerah di mana dihitung sejak penetapan pasangan calon kepala daerah, sedangkan berdasarkan Putusan MA No. 23.P/HUM/2024 dihitung sejak saat pelantikan.
Apakah dalam Perubahan UU Pilkada Baleg DPR RI akan mengikuti amar putusan MK atau MA? Hal tersebut bukan pilihan yang bersifat alternatif.
Karena menurut pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), salah satu materi muatan undang-undang adalah Tindak lanjut dari putusan MK.
Oleh karena itu benar DPR memiliki kewenangan untuk membentuk undang-undang. Akan tetapi bilamana hendak melakukan perubahan UU Pilkada oleh DPR RI terikat oleh putusan Mahkamah Konstitusi. Jika ternyata DPR kemudian tidak mengindahkan terhadap putusan MK, Maka menurut pendapat saya, DPR telah secara “kasat mata dan telanjang” menabrak konstitusi atau melakukan pembangkangan konstitusional /constitutional disobedience.
Selanjutnya, bilamana proses legislasi dalam rangka perubahan RUU Pilkada dipaksakan oleh DPR dan Presiden untuk disetujui bersama, hal tersebut akan berpotensi melahirkan krisis konstitusi (constitutional crisis) yang tidak berujung dan berkepastian hukum.
Misal, betul bahwa RUU Pilkada dibahas dan disetujui bersama DPR dan Presiden, setelah itu disahkan Presiden sebagai UU Pilkada. UU Pilkada tersebut ada potensi untuk dilakukan Judicial Review (JR) ke MK oleh masyarakat yang merasa proses legislasinya tidak benar dan tidak melalui proses partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Dan terdapat kemungkinan besar MK akan membatalkan UU Pilkada tersebut. Setelah UU Pilkada tersebut dibatalkan oleh MK, oleh parlemen akan dilakukan perubahan lagi, begitu seterusnya, maka menurut saya tidak jelas pangkal dan ujungnya, sementara proses dan pentahapan pilkada serentak 2024 harus tetap jalan.
Oleh karena itu, saya menyebut akan terjadi yang disebut sebagai krisis konstitusional. Ketika terjadi krisis konstitusional maka akan berpengaruh terhadap legalitas dan legitimasi hasil pilkada serentak 2024, termasuk legitimasi Pasangan kepala daerah yang terpilih.
Sebagai tindakan “perlawanan” atas pembangkangan konstitusional /constitutional disobedience oleh Parlemen tidak menuntup kemungkinan terjadi pembangkangan oleh masyarakat sipil (civil society disobedience) untuk memboikot pelaksanaan pilkada serentak 2024, tentu menurut saya ini sangat berbahaya kalau ternyata terjadi boikot karena apa karena tentu pilkada serentak 2024 bisa saja kemudian tingkat partisipasinya rendah sehingga kemudian tingkat legitimasinya terhadap kepala daerah terpilih melalui proses pilkada yang dianggap berdasarkan UU Pilkada yang itu melalui proses-proses yang tidak konstitusional.
Bilamana proses pembangkangan masyarakat sipil semakin meluas akselerasinya dikhawatirkan terjadi konflik horizontal yang berujung terhadap disintegrasi Bangsa.
Saya kira ini yang harus menjadi perhatian semua pihak, DPR, pemerintah, masyarakat, dan semua elemen masyarakat untuk mencegahnya agar tidak terjadi “DPR (D) Jalanan” dan terjadinya “reformasi jilid II”.
Penulis :
Dr Hufron, SH.,MH., Pakar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Editor : Arif Ardliyanto