get app
inews
Aa Text
Read Next : Gelar Honoris Causa Diobral, Ini Kata Pakar Unair

Soal Potensi Eskalasi Konflik Rusia-Ukraina ke Perang Nuklir, Ini Kata Pakar Hukum Nuklir

Rabu, 09 Maret 2022 | 16:19 WIB
header img
Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan pasukan nuklir ditempatkan dalam siaga tinggi di tengah perang dengan Ukraina yang semakin memanas. (Foto/Sergei Bobylev/TASS)

SURABAYA, iNews.id - Invasi Rusia ke Ukraina menjadi sorotan dunia. Tidak sedikit para pengamat yang memprediksi bahwa ada kemungkinan Rusia akan memilih opsi nuklir dalam konflik tersebut.

Menurut pakar Hukum Nuklir Unair Dr. Intan I. Soeparna, bukan tidak mungkin Rusia bakal menggunakan senjata nuklir dalam konflik Ukraina. 

Hal ini dikarenakan negara tersebut tidak menandatangani Treaty Prohibition of Nuclear Weapon (TPNW). Sehingga tidak terikat pada norma dalam traktat tersebut. 

Presiden Rusia Vladimir Putin juga mengatakan, bahwa penggunaan senjata nuklir adalah “opsi terakhir” apabila negosiasi penghentian perang di Belarus tidak membuahkan kata sepakat.

Intan menjelaskan, hukum nuklir yang diatur di TPNW mewajibkan negara yang meratifikasi TPNW untuk tidak memiliki senjata nuklir, mendorong atau mendesak negara bukan anggota TPNW untuk tidak menggunakan senjata nuklir, membantu korban perang nuklir dan membantu pemulihan lingkungan akibat perang nuklir. 

"Konsep "mendorong" atau "mendesak" dapat dilakukan dengan retaliasi dalam lingkup geopolitik, ekonomi atau hubungan diplomatik dengan Rusia,” ujar alumni Vrije Universiteit Brussel itu.

Oleh karena itu menurut Intan, pencegahan eskalasi menuju perang nuklir dilihat dari seberapa kuat perlawanan Ukraina dan desakan dari dunia internasional. 

Ia juga berkata bahwa desakan melalui retaliasi ekonomi, no-fly zone wilayah Rusia atau pemutusan hubungan diplomasi adalah opsi yang paling mungkin dilakukan untuk mencegah eskalasi Rusia dalam menggunakan senjata nuklir.

Kata dia, efektivitas hukum internasional kurang bisa didapatkan apabila mendesak resolusi pencegahan perang nuklir melalui Dewan Keamanan PBB (DK PBB). 

"Hal ini mengingat dalam konteks ini akan kemungkinan besar diveto oleh Rusia,” tutur fellow researcher Center for Private and Economic Law Vrije Universiteit Brussels itu.

Intan menekankan bahwa perang nuklir memiliki konsekuensi berupa pelanggaran semua hukum internasional, terutama hukum humaniter dan hukum HAM internasional. 

Ada kemungkinan bahwa Rusia dapat diseret ke International Court of Justice (ICJ), namun hal ini bukanlah hal yang mudah. 

Hal ini dikarenakan bahwa perlu persetujuan Rusia untuk beracara di ICJ, dan efektifitas putusan ICJ ada di tangan DK PBB yang kemungkinan besar juga akan diveto oleh Rusia. 

Solusi terbaik atas konsekuensi hukum perang nuklir adalah Rusia diadili di European Court of Human Rights (ECHR), dimana Rusia adalah anggota European Convention of Human Rights.

“Jadi, pencegahan penggunaan nuklir saat ini sangat bergantung dari keberhasilan desakan negara lain dan rakyat Rusia sendiri," ucapnya.

Sementara Rusia (Putin) harus mempertimbangkan konsekuensi dari perang nuklir. Konsekuensinya dapat berupa berbagai retaliasi baik ekonomi dan politik dari western block. 

"Selain konsekuensi lingkungan (radiasi nuclear blast dapat mencapai wilayah Russia sendiri yakni Crimea), konsekuensi pelanggaran HAM yang mungkin akan menjadi alasan politik rakyat Rusia yg tidak mendukung Putin, untuk menyeret Putin ke ECHR,” tandasnya.

Editor : Ali Masduki

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut