Nenek Moyang Indonesia Pelaut, Pernah Kuasai Jalur Pelayaran Lalu Lintas Dunia dan Kerajaan
Setelah perjuangan yang panjang, Abu Kasim berhasil membujuk saudara tirinya menjadi Raja Banggai. Maulana Frins Mandapar dinobatkan sebagai raja Kerajaan Banggai pada tahun 1600. Sepasang telur maleo yang diberikan kakek Abu Kasim, dibawa kembali ke Batui karena daerah Batui, khususnya Bakiriang, memiliki pasir yang cocok untuk kelangsungan hidup burung maleo.
Telur Maleo tidak diserahkan begitu saja, terdapat perjanjian antara Abu Kasim dan sang kakek Raja Matindok. Perjanjian itu berisi apabila burung maleo bertelur, telur maleo yang pertama tidak boleh dicicipi siapa pun dan harus diserahkan ke Kerajaan Banggai. Perjanjian inilah yang menghasilkan sebuah tradisi yang disebut Molabot Tumpe (Abuhadjim, 2019).
Tradisi Molabot Tumpe rutin dilaksanakan setiap tahun. Tradisi ini mendapatkan jaminan hukum dari negara, melalui Undang-Undang Dasar tahun 1945 Pasal 18B ayat 2 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Telur-telur maleo yang dibawa ke Kerajaan Banggai dibungkus dengan daun. Ketika diantar ke Kerajaan Banggai daun pertama yang membungkus telur maleo dibuang ke laut, kemudian telur maleo dibungkus lagi dengan daun palem. Hal ini dipercaya masyarakat bahwa daun pertama yang membungkus telur maleo akan berlayar terlebih dahulu daripada kapal yang akan datang membawa telur maleo. Daun yang berlayar ini menjadi pertanda untuk masyarakat Banggai bahwa rombongan kapal yang membawa telur maleo akan segera datang (Pradjoko, 2019).
Editor : Arif Ardliyanto