get app
inews
Aa Text
Read Next : Partai Prima Jatim Konsolidasi Mesin Politik Pasca Tahun Politik

Demokrasi Mahal dan Nostalgia Orde Baru: Perlukah Kita Meninjau Ulang Sistem Politik Kita?

Jum'at, 18 April 2025 | 13:54 WIB
header img
Peserta menyelesaikan mural pemilu ketika mengkuti lomba mural yang dihelat KPU Kota Surabaya, dikawasan Gunung Anyar, Surabaya. Foto: iNewsSurabaya/Ali Masduki

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

"Mungkin kita butuh demokrasi yang tidak sekadar prosedural, tapi juga rasional dan efisien. Karena demokrasi yang mahal dan gaduh, bukan jaminan bagi keadilan dan kesejahteraan."

GELOMBANG kritik terhadap mahalnya biaya demokrasi di Indonesia kian menguat. Pemilu 2024, misalnya, menghabiskan anggaran lebih dari Rp76 triliun. Ditambah lagi biaya pilkada serentak, pemilihan kepala desa, serta kebutuhan logistik politik lainnya. 

Tak heran jika sebagian masyarakat mulai bertanya-tanya: apakah demokrasi kita harus semahal ini? Yang lebih mengejutkan, ada pula yang mulai melirik ke belakang: masa Orde Baru

Sebuah periode yang sering disebut otoriter, tapi ironisnya juga dianggap oleh sebagian kalangan sebagai masa “keemasan pembangunan”. Apakah ini nostalgia semu? Atau sinyal bahwa rakyat mulai letih dengan demokrasi yang gaduh, lambat, dan mahal?

Demokrasi Kita: Mahal, Tapi Tidak Efisien?

Biaya demokrasi yang membengkak menjadi kritik utama. Pemilu dan pilkada langsung di semua jenjang menuntut anggaran luar biasa. Mulai dari logistik, honor petugas, hingga biaya pengawasan. 

Di sisi lain, sistem politik yang transaksional—dari mahar partai hingga politik uang—membuat demokrasi terasa seperti kompetisi modal, bukan gagasan.

Menurut Lijphart (1999) dalam Patterns of Democracy, demokrasi idealnya tidak hanya partisipatif, tapi juga efisien. Sayangnya, efisiensi itu sering kali dikorbankan oleh sistem demokrasi kita yang terlalu kompleks dan kadang tak terarah.

Nostalgia Orde Baru: Relevan atau Keliru?

Tidak bisa disangkal, Orde Baru menghasilkan sejumlah capaian monumental: swasembada beras, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pembangunan infrastruktur dasar. Itu semua dilakukan dalam sistem yang sentralistik dan minim partisipasi rakyat. Namun, tentu ada harga yang sangat mahal: pembungkaman kebebasan sipil, KKN yang menggurita, dan pelanggaran HAM.

Mengingat keberhasilan pembangunan masa itu bukan berarti mengabaikan luka sejarah. Tetapi, memetik pelajaran dari efisiensi manajerial dan sentralisasi anggaran barangkali penting. 

Dalam bahasa Fareed Zakaria (2003), demokrasi tidak boleh berhenti pada seremoni elektoral. Demokrasi harus dikawal oleh kualitas institusi dan kematangan moral elite-nya.

Perlukah Demokrasi Kita Direformulasi?

Kita tidak harus kembali ke sistem Orde Baru. Tetapi kita juga tidak bisa terus menghindar dari pertanyaan penting: bagaimana menjadikan demokrasi kita lebih murah, efisien, dan bermanfaat? Atau dengan pertanyaan lain; Perlukah demokrasi kita direformulasi?

Reformasi bukan pada nilai demokrasinya, tapi pada mekanismenya. Kita bisa belajar dari negara-negara dengan demokrasi hemat namun efektif, seperti Jerman dan Finlandia. Dua negara yang patut dijadikan rujukan dalam membangun demokrasi yang efisien namun berkualitas tinggi. 

Di Jerman, sistem demokrasi parlementernya berjalan dalam bingkai efisiensi tinggi. Pemilu dilaksanakan secara berjenjang dan terjadwal dengan presisi, serta biaya kampanye sebagian besar dibiayai negara melalui mekanisme public funding. 

Calon legislatif tidak perlu keluar dana besar, karena partai politik diberikan dukungan dana berdasarkan jumlah suara sebelumnya—dengan syarat transparansi laporan keuangan yang ketat. Debat publik pun menjadi ruang utama pertarungan gagasan, bukan pertunjukan massa yang mahal.

Sementara di Finlandia, salah satu negara dengan demokrasi paling bersih dan efisien di dunia, pemilu berlangsung dengan tingkat partisipasi yang tinggi namun biaya sangat rendah. Hal ini dicapai melalui:

• Sistem multi-member district yang menekan biaya kampanye pribadi.
• Digitalisasi sistem pemilu, yang memangkas anggaran logistik secara signifikan.
• Budaya politik yang egaliter dan berbasis substansi, di mana politisi tidak dinilai dari baliho atau iklan mahal, melainkan dari integritas, rekam jejak, dan solusi kebijakan.

Menurut laporan IDEA International (2023), biaya pemilu di Finlandia hanya sekitar 1/10 dari biaya pemilu negara-negara berkembang seperti Indonesia, dengan hasil demokrasi yang jauh lebih stabil dan akuntabel.

Pelajaran penting dari dua negara ini adalah: demokrasi yang sehat bukan soal berapa uang yang dibelanjakan, tapi seberapa bermakna prosesnya bagi rakyat.

Bukan Mundur ke Belakang, Tapi Melompat ke Depan

Rakyat hari ini bukan ingin kembali ke masa lalu. Yang mereka rindukan adalah pemerintahan yang sederhana, bersih, dan efektif. Jika demokrasi tidak bisa memberi harapan dan kesejahteraan, maka keraguan publik akan terus tumbuh.

Demokrasi bukan tujuan, melainkan alat untuk mencapai keadilan dan kemaslahatan. Maka tugas kita hari ini bukan mengubur demokrasi, tapi menata ulang jalurnya agar lebih relevan, efisien, dan amanah. Karena politik tidak seharusnya menjadi beban, tapi jembatan menuju pelayanan dan pembangunan.
 

Editor : Ali Masduki

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut