get app
inews
Aa Text
Read Next : Liquid Blush dan Eye Serum Terbaru Diperkenalkan dalam Tren Hybrid Makeup

Ketika Kepercayaan Dilukai: Suara Mahasiswa Kesehatan Soal Pelecehan oleh Dokter

Jum'at, 09 Mei 2025 | 16:50 WIB
header img
Peristiwa tersebut memunculkan kembali kekhawatiran tentang relasi kuasa yang timpang antara tenaga medis dan pasien, yang kerap membuat korban kesulitan bersuara. Foto: IST

SURABAYA, iNEWSSURABAYA.ID - Dugaan kasus pelecehan seksual yang melibatkan seorang dokter spesialis kandungan di Klinik Karya Harsa, Garut, kembali mengguncang kepercayaan publik terhadap layanan kesehatan. Dokter Muhammad Syafril Firdaus (MSF) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, yang mendapat sorotan luas dari berbagai kalangan, termasuk Komnas Perempuan dan media nasional.

Korban dalam kasus ini melaporkan telah mengalami tindakan fisik yang tidak pantas saat menjalani pemeriksaan medis. Peristiwa tersebut memunculkan kembali kekhawatiran tentang relasi kuasa yang timpang antara tenaga medis dan pasien, yang kerap membuat korban kesulitan bersuara.

Sebagai bagian dari respons terhadap kasus ini, sekelompok mahasiswa melakukan survei daring terhadap 74 mahasiswa dari program studi kesehatan di Jawa Timur, meliputi keperawatan, rekam medis, kebidanan, dan kedokteran. Tujuannya adalah untuk mengukur sejauh mana pemahaman calon tenaga kesehatan terkait etika profesi dan isu kekerasan seksual di dunia kerja.

Hasilnya, sebanyak 93% responden menyatakan mengetahui kasus serupa dan menganggap tindakan tersebut melanggar hukum dan etika. Namun, hasil mengejutkan muncul ketika ditanyakan apakah korban dapat turut berperan dalam terjadinya pelecehan seksual. Sebanyak 47,3% responden menyatakan setuju atau sangat setuju, sementara 52,7% lainnya tidak sependapat. Temuan ini mengindikasikan bahwa budaya menyalahkan korban (victim blaming) masih cukup mengakar, bahkan di kalangan calon tenaga medis.

Komnas Perempuan sendiri menegaskan bahwa kekerasan seksual merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan, bukan akibat perilaku korban. Oleh karena itu, pendidikan yang lebih mendalam mengenai pendekatan korban-sentris dan kesadaran terhadap dinamika kuasa dalam relasi dokter-pasien dinilai sangat penting.

Survei juga menunjukkan dukungan luas terhadap penegakan hukum. Sebanyak 83,8% responden menyatakan pelaku harus diproses secara hukum, dan 78,4% mendukung pemberian hukuman maksimal sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Selain hukuman pidana, mayoritas responden (78,1%) juga menyetujui sanksi sosial seperti pencabutan izin praktik dan pelarangan bekerja di institusi kesehatan lain. Namun, sekitar 8,2% menganggap sanksi sosial dapat berisiko menjadi bentuk penghakiman publik yang tidak proporsional.

Kasus ini menjadi pengingat penting bagi institusi pendidikan dan layanan kesehatan untuk memperkuat pendidikan etika, empati, serta perlindungan terhadap pasien. Mahasiswa hari ini adalah tenaga kesehatan masa depan. Ketidakjelasan pandangan terhadap isu kekerasan seksual bukan sekadar masalah, melainkan sinyal perlunya reformasi mendasar. Prinsip “do no harm” harus diterapkan tidak hanya dalam tindakan medis, tetapi juga dalam setiap bentuk interaksi kemanusiaan.

Matakuliah Opini Publik dan Propaganda dengan Dosen Pengampu Beta Puspitaning Ayodya, S.Sos., MA

Penulis: Yexy Margareta Sari, Fadhilah Rahmah Ilmiah, Divqa Wahyuningtyasty (Mahasiswa Ilmu Komunikasi, UNTAG Surabaya)

Editor : Arif Ardliyanto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut