Amphuri Ungkap Sisi Lain Pengurangan Kuota Haji dan Regulasi Arab Saudi
SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Wacana pengurangan kuota jemaah haji Indonesia hingga 50% pada musim haji 1447 H/2026 telah menimbulkan kekhawatiran dan diskusi luas. Kepala Badan Penyelenggara Haji dan Umrah (BPJU) Mochamad Irfan Yusuf (Gus Irfan) menyampaikan wacana ini setelah pertemuan dengan Deputi Menteri Haji Arab Saudi.
Pengurangan ini, menurut BPJU, merupakan bagian dari kebijakan baru Pemerintah Arab Saudi untuk meningkatkan kualitas manajemen haji, terutama dalam hal kesehatan (istithaah), akomodasi, dan pelaksanaan ibadah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna).
Arab Saudi juga berencana membatasi jumlah syarikah (perusahaan mitra) dan memperketat pengawasan terhadap hotel, makanan, dan kapasitas tenda di Armuzna.
Menurut Ulul Albab, Kabid Litbang Amphuri (Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia), meskipun langkah-langkah yang lebih ketat tersebut logis untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan keamanan jemaah, dampaknya bagi Indonesia akan signifikan.
Pengurangan kuota haji berpotensi menimbulkan masalah besar. Juga jutaan calon jemaah yang telah menunggu bertahun-tahun akan terdampak. Masa tunggu haji yang saat ini sudah mencapai 30-40 tahun di beberapa provinsi akan semakin panjang. Kekecewaan publik pun berpotensi meningkat.
"Bayangkan, jutaan orang yang sudah bertahun-tahun menabung dan menunggu gilirannya untuk berangkat haji, tiba-tiba kuotanya dikurangi separuh," tambah Ulul Albab.
"Ini bukan hanya masalah administrasi, tapi juga menyangkut harapan dan impian banyak orang," lanjutnya.
Dampak ekonomi juga tak bisa diabaikan. Lembaga keuangan syariah yang mengelola tabungan haji dan biro perjalanan haji dan umrah akan merasakan penurunan omzet yang signifikan.
Untuk itu, kata Ulul, BPJU harus melakukan negosiasi dan diplomasi yang strategis, holistik, dan inklusif. Hal ini mencakup keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan, termasuk asosiasi penyelenggara haji, ormas Islam, akademisi, dan media massa.
Indonesia perlu memperjuangkan hak-hak jemaahnya dalam kerangka hubungan bilateral yang saling menghormati.
"Indonesia perlu menunjukkan bahwa kita bukan hanya konsumen kuota haji, tetapi mitra strategis Arab Saudi dalam pembangunan peradaban Islam global," tegas Ulul Albab.
Diplomasi yang tegas namun elegan, kolaborasi yang saling menguntungkan, dan kesiapan internal yang kuat sangat diperlukan.
Menurut Ulul, di tengah tantangan ini, terdapat peluang untuk memperkuat tata kelola haji nasional. Peralihan manajemen haji ke BPJU dapat menjadi momentum untuk membangun sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan responsif.
Kebijakan istithaah yang lebih ketat dapat menjadi dasar pembenahan sistem skrining kesehatan nasional. Pengelolaan dam yang lebih terkontrol dapat mendorong pembangunan ekosistem haji yang lebih modern dan berstandar internasional.
Indonesia perlu meneguhkan kedaulatan dalam pengelolaan haji, namun juga cerdas membaca perubahan di Arab Saudi pasca-implementasi Visi 2030. Penataan ulang sistem haji oleh Kerajaan Saudi tidak sepenuhnya bisa dihindari, tetapi bisa dinegosiasikan demi kemaslahatan bersama.
"Isu ini seharusnya semakin menguatkan semangat kolaborasi antara negara dan umat dalam mewujudkan sistem haji nasional yang berdaulat, berkualitas, dan berorientasi pelayanan," tuturnya.
"Kepedulian kita terhadap haji bukan hanya soal jumlah, tetapi tentang marwah, amanah, dan masa depan peradaban yang lebih unggul dan berkeadilan," pungkas Ulul Albab.
Pengurangan kuota juga akan berdampak signifikan pada haji khusus. Dengan proyeksi pengurangan hingga 50%, kuota haji khusus yang biasanya 8% dari total jemaah reguler juga berpotensi terpotong drastis. Penyelenggara haji khusus perlu beradaptasi dengan sistem seleksi yang lebih ketat dan pembatasan operasional.
Editor : Ali Masduki